SURAT CINTA TERAKHIR UNTUK SANG MANTAN


Kain panjang yang mengelilingi bagian bawah tubuhnya, membuatnya sulit untuk berjalan. Apalagi di cuaca yang berangin seperti ini. Sesekali ia mengertakkan giginya menahan dinginnya udara malam hari ini. Hidup di Jakarta bukan hal mudah baginya. Ia ingat kata bapak(1)nya dulu saat ia masih kecil dan hal itulah yang menjadi kekuatannya hingga kini.
            “Nduk(2), orang hidup itu sulit. Banyak godaan dan cobaannya. Pesan bapak, kamu harus selalu ingat pada Tuhan.” kata Bapak sambil menggendongnya dulu.

Dewi, itu adalah nama yang diberikan oleh orangtuanya di kampung dulu. Kini mereka telah tiada dan tinggallah Dewi sebatang kara hidup di Jakarta. Malam ini, seperti biasa Dewi pulang dari tempat kerjanya di restaurant yang tidak jauh dari tempatnya tinggal. Rintik hujan mulai turun dengan irama yang kian bertambah. Wajah dan tubuhnya mulai basah oleh hujan, akan tetapi ia tetap berjalan tenang. Ada rasa asin yang jatuh di bibirnya. Air hujan kah ataukah airmatanya? Dilihatnya ada sebuah kaleng minuman. Ia pun langsung menendang jauh kaleng itu. Ia melampiaskan kekecewaannya pada kaleng itu.
            “Mas(3) Radit, tega benar mas kamu padaku. Apa salah diriku hingga kau melakukan ini semua padaku?” kata Dewi sambil terus berjalan pulang. Sesampainya di kontrakannya yang kecil, Dewi mengganti bajunya yang basah lalu duduk di depan cermin. Cukup lama ia hanya memandangi sosok dirinya


di cermin. Ia ingat bagaimana ia dulu begitu disayang oleh bapak dan ibunya. Meskipun hidup mereka sulit, tapi mereka begitu bahagia. Ia menarik napas panjang dan berat teringat semua yang terjadi padanya tadi pagi.

Pagi itu saat sang surya sedang bersinar di sepanjang pasar yang ramai, Dewi mendapat telepon dari Radit yang ingin berpisah. Sudah 3 bulan belakangan ini, Radit dan Dewi menjalin cinta. Entah kenapa Radit ingin mengakhirinya. Dengan tekad dan cinta yang masih berapi-api, Dewi bermaksud menemui Radit sepulang kerja. Tapi yang dia lihat justru Radit yang sedang berbagi kasih dan berpelukan dengan wanita lain. Hancur sudahlah perasaaan Dewi.
“Sudahlah, aku tidak mau mengingatnya lagi. Pasti Mas Radit punya alasan lain. Karena setauku Mas Radit adalah pria yang baik.” pikirnya.

Matahari masih enggan bersinar, nampaknya akan turun hujan lagi tapi Dewi sudah berada di depan rumah Radit.
            “Mas Radit, Dewi ingin bicara sebentar mas.”
            “Aku sibuk wi, jadi langsung pada pokok tujuanmu.” jawab Radit garang
            “Dewi punya salah apa mas? Kenapa Mas Radit memutuskan dan menghindari Dewi?” Tanya Dewi sambil meremas pinggir roknya.
            “Wi, kan uda aku bilang. Aku tidak suka lagi sama kamu. Jadi lebih baik kita tidak usah berhubungan lagi.”
            “Tapi mas, Dewi masih suka banget sama Mas Radit. Dewi tidak mau berpisah sama Mas Radit.” Jawab Dewi sambil terus memegang tangannya yang gemetaran dari tadi.
            “Aku sibuk wi, aku mau pergi dan aku tidak mau kau seperti ini lagi.”

Dewi memandangi punggung Radit yang semakin lama semakin jauh darinya. Lagi-lagi hujan turun bersamaan dengan airmata Dewi. Dalam keadaan basah kuyup, Dewi berjalan pergi. Ia berhenti sejenak di ujung jalan raya dan duduk jongkok sambil memeluk kakinya yang kini gemetaran. Padahal dulu ia sangat menyukai hujan di akhir musim kemarau seperti ini. Sejak ia kecil bapak dan ibunya selalu bahagia bila hujan mulai membasahi lahan yang kering karena kemarau. Maklum bapaknya adalah seorang petani. Melihat orangtuanya senang, Dewi juga mulai menyukai hujan. Tapi hari ini, ia kesal pada hujan yang turun saat hatinya sedang mendung.

Sebuah motor berhenti tepat didepan Dewi. Pria tinggi dan kurus itu menghampiri Dewi. Dewi segera menghapus tetesan airmata bercampur hujan di wajahnya.
            “Kamu kenapa wi?”   
            “Ahhh… tidak ada apa-apa kok mas. Mas Ali mau kemana?”
            “Tapi kamu basah kuyup nduk... Kuantar pulang dulu ya? Kamu pakai saja jaketku biar tidak dingin.” Kata Ali sambil menyerahkan jaketnya pada Dewi

Selama perjalanan, Dewi memandang punggung Ali. Pria yang selama ini selalu membantunya. Saat pertama sampai di ibukota, Ali lah yang menyelamatkan Dewi dari perampokan bahkan Ali membantu Dewi mencari kontrakan yang sekarang ia tempati. Pria yang kadang memanggil Dewi dengan sebutan ‘nduk’ sama seperti bapaknya memanggilnya. Bagi Dewi, Ali adalah sebuah payung yang dia butuhkan saat hujan tiba. Bahkan Dewi menganggap Ali sudah seperti titisan bapaknya yang kini ada di surga.
            “Kamu yakin baik-baik saja?” tanya Ali begitu sampai dikontrakan Dewi
            “Aku baik-baik saja kok mas. Makasih ya sudah mengantarku.”
            “Memangnya Radit kemana? Kenapa kamu sendirian disana?” Tanya Ali. Jantung Dewi berdebar begitu kencang mendengar pertanyaan Ali.
            “Mas Radit ya dirumahnya mas. Aku mau mandi dan siap-siap kerja mas. Mas Ali pulang saja. Makasih atas tumpangannya.”

Dewi terburu-buru mengakhiri percakapannya dengan Ali. Bagaimana bisa ia menceritakan kalau Radit lah yang membuatnya seperti itu. Ali adalah orang yang membuat Dewi dan Radit saling mengenal. Maklum Radit dan Ali adalah teman baik. Ia ingat bagaimana Ali melarang Dewi dekat dengan Radit dulu. Ali bilang, Radit bukan pria yang baik dalam hubungan asmara. Tapi Dewi dan Radit keras kepala dan akhirnya mereka menjadi pacar. Kini Dewi pun mengerti maksud Ali. Radit benar-benar menyakitinya.

Berbeda dengan Radit, Ali adalah pria yang baik sejak pertama kali Dewi bertemu dengannya. Ali sendiri pernah mempunyai kekasih dan itu sudah berjalan sekitar 3 tahun. Sayangnya gadis itu harus menikah dengan pilihan orangtuanya. Benar-benar hubungan yang sangat indah bila dibandingkan dengan cerita cinta Radit dan kekasih-kekasihnya.

Dewi menerjang harga dirinya dan kembali menemui Radit. Ia tidak bisa mengontrol perasaannya lagi. Ia memaksa Radit menemuinya di taman kota.
            “Bukankah aku sudah bilang agar kita tidak perlu bertemu lagi?
            “Mas, aku cuma ingin tau alasan kau tidak menyukaiku lagi. Apa aku melakukan kesalahan yang membuatmu marah?”
            “Wi, kau juga adalah teman Ali dan aku tidak mau membuat masalah dengan Ali.  Karena itulah aku bertahan denganmu. Tapi aku sudah di ambang kebosanan jadi aku mengakhirinya.”
            “Tak ingatkah kau akan semua surat cinta yang pernah kita tulis mas?”
            “Maaf wi, ini terakhir kalinya kita membicarakan hubungan kita. Kita sudah tidak mempunyai hubungan apa-apa. Kau mengerti?” kata Ali lalu pergi meninggalkan Dewi

Ada tetes bening yang jatuh mengucur di pipi halus Dewi. Ia teringat akan semua surat cinta yang pernah ditulis Radit. Kata-katanya begitu manis dan indah. Membuat Dewi kehilangan akal dan pikiran. Ia pun masih mengingat isi surat cinta itu karena setiap malam tiba, Dewi selalu membaca surat-surat itu yang dia kumpulkan di peti kecil.
            “Wi, aku membeli nasi goring kesukaanmu ni.” Kata Ali yang masuk saat Dewi menangis memandangi surat-surat cinta Radit.
            “Jangan bohong lagi wi, kamu kenapa? Apa Radit melakukan sesuatu padamu?”

Dewi memandangi Ali dan menangis dibahu Ali. Dewi pun akhirnya menceritakan semuanya pada Ali. Api amarah seakan keluar dari diri Ali. Namun Dewi mencoba mendinginkan kepala Ali.
            “Aku bilang juga apa. Radit itu bukan pria baik dalam hubungan cinta. Ia selalu saja seperti ini. Berani sekali ia melakukannya padamu juga.”
            “Udah mas, jangan diperbesar lagi masalahnya. Jika Mas Ali sampai bertengkar dengan Mas Radit gara-gara aku, aku jadi merasa bersalah mas.”
            “Tapi kamu gak apa-apa kan wi?”
            “Iya mas. Aku gak apa-apa. Sebulan ini, aku berpikir keras. Ya mungkin aku gak jodoh dengan Mas Radit. Lagipula Mas Raditnya uda gak suka sama aku, jadi mau gimana lagi.”

Ya, sudah berganti bulan lamanya Radit meninggalkan Dewi. Wajah muram Dewi berangsur bersinar. Ia memberanikan diri menulis sebuah coretan kecil untuk pria yang pernah mengisi hatinya itu. Butiran embun menempel di hidung. Mungkin lebih tepatnya butiran keringat. Tak tau apa yang harus ia tulis karena rasanya sudah sirna semua harapannya untuk dapat kembali kepada pria itu. Jari jemarinya menjadi lemas seakan tak sanggup untuk menulis.
Mas Radit,
Apa kabar mas? Lama tidak bertemu. Ini adalah suratku yang terakhir jadi kau harus membacanya mas.
Mas, gadis ini adalah seseorang yang sangat sederhana. Seorang gadis yang mengenal apa itu cinta darimu. Seorang yang bahkan tidak bisa melupakanmu walau sedetik. Gadis ini berterimakasih padamu mas yang telah mengajari apa itu kebahagiaan mencintai dan dicintai. Gadis ini juga telah memutuskan menyerah padamu. Kau harus bahagia mas.
Biarlah awan akan terus berjalan mengelilingi langit meskipun mendung…

Dengan perasaan gundah dan gelisah, Dewi memutuskan untuk menentang angin kencang sore ini hanya untuk mengirimkan surat itu pada Radit. Langsung pada Radit? Sepertinya tidak, ia hanya akan menaruhnya di kotak surat. Ingin hati melihat dan menyerahkannya langsung tapi apa daya Dewi tidak ingin menggangu hidup Radit lagi.
            “Mas… hiduplah bahagia. Maafkan Dewi yang egois selama ini.” Ucapnya saat selesai meletakkan surat itu pada kotak surat.

Gerimis datang lagi. Selalu pada saat seperti ini, itulah yang dipikirkan Dewi. Tiba-tiba sebuah payung melindunginya dari hujan. Dia pandangi wajah pemilik payung itu.
            “Mas Ali?”
            “Maukah kau memulainya dari awal bersamaku?” Tanya Ali
Ali menawarkan sebuah cinta pada Dewi disaat hati Dewi terluka karena cinta. Dewi tersenyum melihat wajah Ali. Tiba-tiba ia ingat kata ibunya
            “Nduk, pria yang baik itu adalah pria yang ada saat kau membutuhkan. Pria seperti bapakmu itu. Ibu selalu berdoa agar kamu menemukan pria yang mencintaimu sebesar cinta bapakmu pada ibu dan kamu.”

Dewi tau dengan jelas, pria itu adalah Mas Ali. Meskipun ia terlambat menyadarinya tapi ia bersyukur bisa mendapat seorang pria seperti kata ibunya.
            “Bu, Dewi sudah menemukannya bu…”



-          THE END   -






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

New Beginning

Haaiiii.... Lama banget aku gak muncul dirumahku ini. 2014... terakhir kali aku singgah disini. Ini bukan karena aku punya rumah ...

Paling Disukai