A Letter To U




Apa kabarmu mas?
Entah sudah berapa ratus menit kita tak saling memandang dan melontarkan kata rindu. Selama itu pula tak kudengar nyanyian kabarmu. Tidakkah kau merindukanku? Tidakkah kau ingin mendengar suaraku? Meskipun hanya untuk menanyakan kabarku saat ini.
Mas, aku tengah terporosok begitu dalam tatkala mendengar sebuah lagu. Sebuah lantunan musik nan indah dan mengisyaratkan suatu awan yang telah menyelimuti kita hingga kini. Lagu yang mampu membuatku mengingatmu hanya dengan mendengar lirik bagian tengahnya saja.
Heeojiji motaneun yeoja, (the girl who can’t say good bye)
Tteonagaji motaneun namja (the boy that can’t leave)
Saranghaji annneun uri geuraeseo (the two of us are no longer in love)
Telahkah kamu cermati dan tuangkan kalimat itu secara perlahan dalam kisah kita, mas? Sudahkah kamu menemukan suatu kesamaan? Seorang wanita yang tidak bisa mengucapkan perpisahan, tidakkah kamu tahu siapa wanita itu? Seorang pria yang tidak dapat pergi, kamu tentu tahu dengan pasti siapa dia.
            “Hubungan yang seperti itu tidak sehat. Lebih baik kamu akhiri saja.” Seru mereka tatkala aku menceritakan semua tentangmu
Ah, sebenarnya bukan itu yang ingin kudengar dari mereka. Tapi aku juga tak mungkin menyuruh mereka membalut luka ini karena ku yakin hanya kita yang mampu membalut sekaligus juga menghunuskan pedang pada luka ini. Bukan mereka. Namun hanya dengan sepenggal kalimat itu, hatiku sudah tercabik-cabik dan teriris secara bersamaan. Apa kamu tahu itu, mas?
Mas… Tak tahukah kamu jika aku sedikit lelah menceritakan rasa sakit ini? Namun nyatanya hanya itu yang selalu kamu goreskan perlahan padaku. Satu senyuman kamu pahat dalam wajahku yang membeku oleh kerasnya hidupku. Satu senyuman kamu tuangkan dalam cawan kehidupanku dengan begitu lembut dan menyejukkan. Namun satu luka juga kamu hunuskan padaku secara perlahan secara bersamaan. Hingga menimbulkan goresan yang panjang dan terikat oleh waktu.
Ingatkah kamu saat angin membelai wajah kita dengan begitu lembut dan mengibarkan kerudungku kala itu? Saat dimana matahari tengah bersembunyi dibalik keangkuhan awan. Saat dimana bulan dan bintang mengikat janji untuk tidak bersua selamanya dengan matahari. Aku berkata padamu kala itu.
            “Aku masih mempunyai seseorang yang terpaku dalam hatiku yang paling dalam.”
            “Tak mengapa. Setiap orang juga memiliki masa lalu. Begitu pula aku.” Ucapmu yang tetap mengulas senyuman dan menatapku.
Aku menyembunyikan wajahku dalam rendahnya tundukkan kepalaku dan terkadang sesekali aku menerawang jauh kedalam langit pikiranku. Terlalu takut rasanya aku melukaimu dengan perasaanku yang masih terpaut dengannya. Terlebih saat kamu mengatakan ‘tak mengapa’ yang justru membuatku merasa menenggelamkanmu dalam ketidakpastian.
            “Aku tidak mudah jatuh cinta dan mencintai seseorang.” Sambungku sambil tetap menjaga pandanganku menjauhi sosokmu.
            “Tak mengapa. Itu justru membuatku tertarik padamu. Aku sanggup menerima semua itu.” balasmu sambil tetap memandangku terdiam
Palsukah semua ucapanmu barusan? Tak ada pria yang mampu menahan sakit ketika sosok yang ada disisinya tengah memikirkan pria yang sudah mencampakkannya. Tak ada pria yang mau menggandeng tangan wanita yang dihatinya tidak mengumandangkan namanya. Namun semua itu nyatanya kamu lakukan padaku.
Aku merasa bersalah padamu. Ya, mungkin hanya untuk sejenak saja. Selebihnya aku mulai menuntutmu banyak. Menuntut akan semua kalimat yang kamu ucapkan padaku itu. Karena kulihat kamu hanya tenang berada disisiku. Tak tahukah kamu jika aku menginginkan bukti akan perasaanmu? Memastikan jika kamu bersungguh-sungguh akan setiap kata yang kamu ucapkan padaku dulu.
Tahukah kamu asal muasal semua itu?
            “Aku akan datang menjemputmu nanti.” Ucapmu kala itu
Aku menunggumu kala itu. Dibawah rapatnya dedaunan pohon yang menaungiku dari derasnya hujan. Memandangi handphone yang sedari tadi kugenggam dan berharap ada balasan darimu. Hingga beberapa menit berlalu, aku tetap menunggu ditengah bercak air hujan yang mulai membasahi kerudung dan rok panjangku.
            “Maaf, aku benar-benar lupa.” Balasmu singkat setelah menit demi menit berupa menjadi jam dan hampir memasuki seperempat hari.
Aku tak lagi berada disana. Karena aku tahu jika kau tidak akan datang. Karena aku yakin, hujan akan tetap melunturkan kepercayaan dan keyakinanmu padaku yang selama ini kucoba tanam untukmu. Dan karena hujan tetap tidak akan bisa mencairkan hatiku yang sakit dan kecewa ini.
Tahukah kamu mas, berapa lama aku berdiri disana? Tahukah kamu betapa kuat emosiku tatkala kamu menjawab sesantai itu? Dan tahukah kamu apa yang aku persiapkan hari itu? Sebuah jawaban yang telah lama kutimang. Sebuah jawaban akan hubungan kita dan kepastian yang kita harapkan bersama-sama dulu.
            “Apa arti diriku untukmu saat ini mas?”
Apa kamu ingat pesan singkat yang kukirimkan tak lama setelah itu padamu mas? Bagaimanapun kesalnya aku padamu kala itu, aku tetap mencoba tenang. Berusaha mengerti akan setumpuk alasan yang kau karang padaku.
            “Sampai saat ini, masih kaulah orang yang terdekat denganku.” Balasmu kala itu.
Hanya sebegitukah arti diriku untukmu mas? Kemanakah perginya semua kata-kata indah dan perasaanmu padaku dulu? Tak bisakah kamu mengatakan jika akulah satu-satunya wanita yang kau sukai? Tak bisakah kau katakan jika kamu mencintaiku mas? Karena saat ini aku mulai sadar jika selama kita bersama, kau hanya mengatakan sayang dan rindu padaku.
Aku memutuskan untuk diam kala itu. Membiarkanmu menemukan sendiri debu yang telah kamu buat mengotori keyakinanku. Membiarkanmu sedikit peka akan perasaanku yang masih berantakan oleh sosokmu. Namun kamu ikut terdiam bersama kebungkamanku. Membuatku kembali ragu akan perasaanku padamu. Juga perasaanmu padaku.
            “Bisakah kita memulainya lagi?” ucapmu kala kebungkaman kita mulai merapat dalam ikatan waktu yang cukup panjang hingga membuat banyak kisah lain diluar sana yang telah menguntai panjang dan hampir berakhir untuk menemukan bagian kisah yang lain.
Semuanya selalu seperti itu. Kisah kita selalu timbul tenggelam dalam arus kehidupan kita yang berbeda. Tak tahukah kamu betapa lelah aku harus mengikuti arus itu?
            “Kamu tak menerimaku apa adanya.”
Begitulah yang ada dalam pikiranmu dan tersirat dalam tatapan matamu. Ya, aku memang tak bisa menerima kekuranganmu itu. Itulah mengapa aku selalu mendorongmu melakukan hal terbaik untuk menutupi semua itu. Bukan merubah. Namun menutupi dengan berusaha sebaik mungkin. Namun kamu sepertinya salah menilaiku dan menenggelamkanku sekali lagi dalam ketidakpastian.
Semuanya kembali berlalu dengan begitu cepat. Tanpa bersuanya kedua mata kita. Tanpa terdengarnya kabar dari masing-masing. Aku kembali mencoba menyambung ikatan itu. Mencoba memperbaiki dan menilai sekali lagi dirimu dalam diriku. Meski aku tahu teman-temanku menilaiku sudah tak memiliki harga diri lagi, aku tetap ingin memastikannya sekali lagi.
Kamu kembali mengecewakanku. Kamu masih sama. Tak ingin beranjak dari kekuranganmu itu. Tak mau mendengarkanku jika aku ingin ingin yang terbaik untukmu. Berapa kali harus kukatakan mas? Aku bersikap seperti itu, karena aku benar-benar ingin yang terbaik untukmu.
Kamu kembali menghubungiku secara instens. Kalimat dalam setiap pesanmu dipenuhi oleh penekanan dan kasih sayang seperti dahulu. Menggambarkan jika dirimu masih mengharapkan diriku seperti saat kamu mengajakku kembali kala itu. Dan kini apakah kamu ingin mengulang kisah kita yang tidak akan ada akhirnya ini?
Tidakkah kau lelah dengan semua ini? Tidakkah kamu berdua sekarang? Tidakkah kamu tahu jika kamu bukanlah lagi pria bodoh yang mau menerimaku meski dihatiku ada pria lain? Bukan lagi pria yang akan berkata ‘tak mengapa’ saat aku mulai meragu. Bukan lagi pria yang sempat membuatku gentar karena kebersamaan kita.
Jikapun kini kamu memutuskan untuk kembali merajut kisah kita yang belum selesai, akankah bisa kita menjaga keyakinan kita untuk saling menguatkan satu sama lain seperti janji kita dahulu?

****
Aku menghentikan jari jemariku untuk bermain diatas keyboard komputerku. Airmataku mulai membayangi mataku saat mengingat semua itu. Rasa sakit dan kekecewaan semua kembali harus kurasakan. Haruskah aku benar-benar mengirim surat ini untuknya? Agar ia tahu bagaimana rasa sakitku kala itu.
Meski kini sudah kuputuskan jika aku tidak akan pernah mengulang kisah cintaku bersamanya. Kisah yang tidak akan pernah menemukan titik kebahagiaan didalamnya. Inilah kisah tragisku dan inilah surat cinta terakhirku untuknya, walau aku tahu aku takkan sanggup mengirimkannya padanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

New Beginning

Haaiiii.... Lama banget aku gak muncul dirumahku ini. 2014... terakhir kali aku singgah disini. Ini bukan karena aku punya rumah ...

Paling Disukai