Don't S4y GoodBy3






 

“ Kamu jahat, kenapa kamu menduakan aku?” tanya seorang gadis pada cowoknya.
“ Aku kan sudah bilang kalau aku tidak suka sama kamu. Aku mau kita putus dan gak usah pakai nangis segala malu-maluin tahu.” kata cowok itu
“ Tapi aku mencintaimu dan gak mau kehilangan kamu.” Gadis itu pun menangis tapi cowok itu malah pergi dengan pacar barunya. Lalu gadis itu pun mengejarnya
“ Huh….pemandangan yang menyedihkan ya?” kataku
“ Iya, kasihan gadis itu. Pasti hatinya terasa sakit ya?” balas Rani.
“ Emang kamu pernah diputusin cowok ya? Kok gak pernah cerita sih?” tanyaku
“ Ya ampun Sita, masak kamu gak tahu sih. Aku kan belum punya pacar.” kata Rani.
“ Kamu ini….. Hei, ada pembeli.” kataku
Aku dan Rani bekerja disebuah toko kue dan cefe mini yang tempatnya gak jauh dari rumah kami. Oh iya, cowok tadi itu adalah langganan kue ditempat kami. Ia sering gonta-ganti cewek dan sering nyakitin perasaan cewek lain. Sebenarnya aku ingin sekali mengusirnya habis dia selalu membawa cewek berbeda-beda ke café kami tapi mau gimana lagi….dia kan pelanggan kami.
“ Sita, apa kamu tahu cowok yang kamu benci itu lho si playboy. Ternyata tadi waktu aku melihatnya dari dekat banget, dia itu sangat tampan lho.”
“ Rani!! Meski dia tampan, kaya, baik hati dan perfect tapi kalo sering nyakitin perasaan cewek buat apa? Pokoknya kamu gak boleh dekat-dekat atau suka pada dia. Titik!”
“ Sita, aku cuma bercanda kok. Kamu marah ya?”
“ Aku cuma sebel saja bila ingat cowok itu. Sudah ayo kita beres-beres lalu pulang.”
Tumben sekali, seminggu ini cowok itu gak pernah nampakin batang hidungnya. Syukurlah….. Bila diingat-ingat tiap kali aku melihatnya, rasanya aku ingin sekali menonjok wajahnya. Sebel banget!  Tapi yang penting seminggu ini aman karena gak melihat wajahnya yang menyebalkan itu.
“ Sita, sory aku telat.”
“ Hm…..gak pa pa kok. Asal jangan datangnya siang hari aja.” kataku.
“ Ya gak mungkin lah!”
“ Memangnya kenapa kamu telat?” tanyaku
“ Eh……hm….itu aku kesiangan. Maaf ya?” kata Rani dengan gugup.
“ Kok kamu gugup sih? Sudahlah ayo kita kerja.”
Biasanya kami pulang jam 7 mlanm tapi masih jam 6 kok Rani sudah ganti baju sih? Lalu akupun menghampirinya.
“ Ran, kamu gak salah liat jam kan?” tanyaku
“ Kenapa?”
“ Ini kan masih jam 6 kok kamu dah ganti baju sih?”
“ Sita, hari ini boleh gak aku ijin pulang jam 6 ada urusan penting. Plis ya?” pinta Rani
“ Urusan apa? Keluarga?”
“ Ntar kapan-kapan kuceritain. Aku pulang dulu ya? Daagh…..”
Kok aneh tadi telat sekarang minta pulang cepat. Esoknya kutanya sepertinya Rani menghindar tapi biarlah mungkin ada sesuatu yang dirahasiakannya dan itu kan privasinya. Tapi bukan cuma sehari Rani datang telat dan pulang cepat tapi sudah empat hari berturut-turut ini. Dan lagian Rani jadi sering melamun sambil tersenyum sendiri.
“ Rani, kamu tahu kan toko sedang rami. Ada pesanan yang harus diantar, tamu-tamu yang minta ini itu dan banyak banget. Aku gak tahu kenapa kamu datangnya selalu telat dan pulang lebih awal. Aku disini kebingungan tahu gak sih?” kataku dengan nada agak tinggi. Aku memang sedikit kesal sama Rani.
“ Sita, maafin aku. Mana? Ada pesanan yang perlu diantar? Biar aku antar sekarang.”
“ Iya, tapi ke rumah semut aja.”
“ Sita, jangan marah dong?”
“ Kamu ini sebenarnya kemana sih Ran?” tanyaku
“ Sita, sebenarnya aku sedang jalan sama cowok.” kata Rani dengan begitu pelan
Akupun langsung tertawa lepas dan terlihat Rani bengong seperti orang kebingungan.
“ Rani..Rani..Kenapa kamu gak terus terang sih? Kan aku jadinya gak emosi begini?”
“ Hubungan kami baru empat hari danaku takut kamu marah.”
“ Buat apa aku marah? Aku pati senang lah! Kalau gitu kapan-kapan ajak dia kesini ya?” kataku
“ I….iya.”
Lima hari tepat setelah itu, aku yang baru saja datang terkejut melihat Rani yang duduk dan menangis di toilet. Lalu akupun menghampirinya,
“ Rani, kamu kenapa?” tanyaku dengan panik.
“ Sita…..aku….aku diputusin cowokku. Dia bilang dia sudah tidak mencintaiku lagi.”
“ Sssttt….sudah..sudah jangan nangis lagi. Mungkin dia memang bukan jodoh kamu. Kamu jangan nangis lagi ya?” kataku sambil memeluknya dan mencoba menenangkannya.
“ Maafkan aku….” kata Rani sambil terus menangis
“ Kenapa harus minta maaf sih?”
“ Sebenarnya aku….aku telah membohongimu.”
“ Maksud kamu apa?”
“ Aku pacaran sama pria itu. Pria yang sering datang ke toko dan sering ganti-ganti pacar itu. Kau benar, dia memang cuma mempermainkan perasaan cewek saja.”
“ Apa? Sama cowok itu? Aku bilang juga apa? Dia itu cuma bisa nyakitin dan gak kan bisa setia. Kamu sih gak pernah ndengerin aku.”
“ Maafin aku Sit….” kata Rani sambil terus menangis.
“ Sudahlah yang penting sekarang kamu jangan nangis lagi ya?”
Aku yakin pasti Rani sangat sedih. Dia pun akhirnya berhenti menangis. Tapi aku tetap aja kesal ma cowok itu. Kenapa temanku sih yang jadi korbannya juga. Kalau ketemu aku akan membuat pembalasan padanya. Esoknya Rani tidak masuk ketika kutelepon dia bilang ingin sendiri. Akupun membiarkannya sendiri, setidaknya dia butuh waktu untuk bisa kembali seperti biasanya. Sore harinya tiba-tiba kulihat cowok itu dan pacar barunya datang. Aku gak mau membuat pertengkaran di toko jadi kubiarkan mereka pulang dulu lalu ketika mereka sudah diluar toko kukejar.
“ Tunggu…” kataku lalu merekapun berhenti
“ Ada apa?” tanya cewek itu.
Plaakk…akupun menampar cowok kurang ajar itu. Lalu akupun tersenyum. Cowok itupun terkejut.
“ Hei nona kau…” balas cowok itu seraya ingin menamparku.
“ Kau mau nampar aku? Ayo, aku gak takut. Kau memang gak punya otak. Untung saja Rani gak masuk kerja kalau dia masuk apa kau pikir hatinya tidak terluka melihat kau bersama cewek lain?” kataku dengan nada tinggi
“ Hei, ini bukan urusanmu. Aku sudah tidak cinta lagi kok sama dia. Jadi jangan bicara macam-macam ya?” gertaknya
“ Kau pikir aku takut pada gertakanmu? Mudah sekali ya kau bicara soal cinta padahal bagimu mendapat cewek baru seperti membalikkan telapak tangan saja. Tapi kasihan ya cewek cantik ini. Dia cantik banget tapi pastinya kamu harus ninggalin dia kalau ada yang lebih menarik bagimu bukan?”
“ Mbak, maksud anda apa?” kata cewek itu yang dari tadi mengandeng tangan cowok itu.
“ Maksud aku? Oh….maksud aku apa gak sebaiknya kamu cari cowok lain daripada ntar kamu diputusin lalu kamu bisa stres gimana? Kalau gak percaya lihat aja temanku dia sedih sekali baru pacaran 9 hari tapi sudah diputus.” Kataku
“ Jangan percaya sayang. Cewek ini mengejar-ngejar aku jadi dia kayak gini” kata cowok itu sambil melotot kearahku. Akupun tertawa.
“ Lucu sekali. Kau pikir aku bisa suka pada cowok sepertimu? Nona, aku cuma gak pingin ada korbannya lagi tapi bila kau bersikeras gak apa-apa. Suatu saat pasti kau akan merasakan sakit hati. Itu pasti.” kataku lalu akupun pergi. Dari jauh terdengar cewek itu marah-marah dan meninggalkan cowok itu. Biar tahu rasa dia.
Seminggu setelah itu, Rani mulai terlihat seperti biasa. Kudengar sih dia baru saja ditembak cowok tapi dia bilang tidak dulu karena dia tidak ingin terluka lagi. Dan tentang cowok itu, dia tidak pernah terlihat lagi mengunjungi toko kami. Biarin saja toh itu malah bagus untuk Rani.
“ Sita, Bima cowok yang suka sama aku itu hari ini mau menjemputku. Katanya dia minta jawabanku sekarang. Aku mesti gimana?” tanya Rani
“ Apa kau menyukainya? Jujurlah padaku.”
“ Iya. Tapi aku masih takut kalau dia menyakitiku. Walau kutahu dia itu pria baik-baik.” kata Rani
“ Kalau gitu kenapa enggak? Kalau dia baik kan malah bagus. Sudahlah jangan terlalu mengingat-ngingat masa lalumu itu ya?” kataku.
“ Itu Bima.”  kata Rani.  Lalu cowok itu masuk
“ Sita ini Bima. Bima ini Sita sahabatku.”
“ Sepertinya aku kenal kamu?” kataku sambil memandangi wajahnya
“ Kak Bima anak SMP Taruna ya? Aku adik kelasmu dulu.” kataku.
“ Oh benarkah?” kata Kak Bima
“ Rani, Kak Bima ini dulu adalah primadona lho tapi banyak cewek yang ditolaknya karena gak cocok. Kalau cowoknya Kak Bima sih aku setuju. Kalian berdua cocok banget.”
Kak Bima dan Rani tersipu malu. Syukurlah setidaknya Rani gak akan disakiti lagi. Karena aku tahu Kak Bima orangnya baik banget. Akhirnya hari ini aku pulang sendirian. Lau tiba-tiba di ujung jalan ada seorang cowok yang menarikku.
“ Kau……Mau apa kau?” tanyaku pada cowok itu. Itu adalah cowok yang menyebalkan itu. Dia mendorongku ke tembok. Aku ingin pergi tapi dia malah mendekatiku. Dia memegang kedua pergelangan tanganku dengan erat.
“ Ternyata kau memang galak ya? Tapi aku harus membikin perhitungan denganmu. Gara-gara kau aku kehilangan satu pacar.” kata cowok itu.
“ Oh….kasihan banget? Tapi gak kan bisa “ Akupun mengigit tangan cowok itu kemudian lari.
“ Aoow…. Hei…..” teriak cowok itu
“ Weeeekkk……” ejekku lalu pergi. Syukurlah aku tadi bergegas kalau tidak aku gak tahu akan diapain sama cowok itu.
Setelah hari itu, aku pulangnya gak lewat jalan itu lagi tapi berputar biar selamat. Hari ini toko ramai jadi beberapa bahan ada yang kurang. Jadi aku disuruh beli barang itu. Kebetulan jarak supermarketnya hanya berseling 3 bangunan saja. Aku pun membeli barang-barang di daftar itu. Setelah sampai di Supermarket aku mulai mencari barang-barang didaftar itu. Tapi karena tempatnya tinggi aku gak bisa mengambil sebuah barang. Mana pelayannya sibuk lagi.
“ Pasti kamu perlu bantuan?” tanya seseorang di belakang aku
“ Iya, aku mau ambil itu.” kataku sambil menunjuk barang itu dan menoleh. Astaga cowok nyebelin itu lagi?
“ Hm….takdir mempertemukan kita lagi ya?” kata cowok itu
“ Kau….awas kau kalau macam-macam aku akan teriak.” ancamku.
“ Tapi ntar siapa yang ngambilin barang itu. Katanya butuh bantuan?”
“ Eh… kau pikir aku gak bisa apa? Pergi sana aku bisa ambil sendiri.” kataku
“ Kamu sudah pernah membuatku repot jadi ya kuganggu aja kamu.”
Ih….. nyebelin. Aku begitu ingin menghajar cowok ini. Tapi kuurungkan saja niatku karena aku kan wanita nanti kalau aku yang kalah gimana? Lalu akupun mencoba meraih tempat barang itu tapi gak bisa. Kebetulan kulihat ada kursi pendek, setidaknya bisa membantu. Kuraih barang itu dan kujatuhkan ke kereta belanjaanku.
“ Kau pikir aku tidak bisa? Kau salah.” kataku.
“ OK aku kalah.”
Lalu saat mau turun tiba-tiba kursinya goyang dan aku akan jatuh. Tapi ada seseorang yang menengkap aku sehingga aku tidak jadi jatuh. Cowok itu yang nolong aku? Dia menatap lembut mataku dan begitu lama. Lalu aku melepaskan diri darinya.
“ Apa-apaan sih kamu? Kamu mau ambil kesempatan dalam kesempitan ya? Dasar kurang ajar!” caciku
“ Hei, sudah ditolong tapi malah memaki. Mendingan gak kutangkap saja kau biar jatuh ketanah dan kesakitan. Sudahlah.” Kemudian cowok itu pergi. Setelah membayar ke kasir akupun kembali ke toko. Bukan cuma sekali itu aku bertemu dengannya. Aku sering melihatnya dan bertemu dengannya tapi aku cuek gak peduli padanya ya…pura-pura gak tahu gitu.
Rani sekarang begitu bahagia bersama Kak Bima. Syukurlah deh…. Hari ini cowok itu datang ke toko tapi bersama cewek lah. Ya, dia pesan kue lalu ngobrol dengan cewek barunya lalu bayar dan pulang. Dia sempat melihatku tapi aku pura-pura membuang muka.
“ Rani, kamu gak pa pa kan?” tanyaku
“ Memangnya kenapa?” tanya Rani balik.
“ Kan tadi ada cowok itu. “ jawabku.
“ Ya ampun Sit, aku tuh da punya Kak Bima dan aku cinta banget sama Kak Bima. Jadi dia hanya masa lalu lagian aku sudah gak punya perasaan apa-apa sama dia.”
“ Syukur deh!”
“ Tapi sekarang kamu yang harus hati-hati.” kata Rani 
“ Memangnya kenapa Ran?” tanyaku dengan sedikit kebingungan.
“ Dari tadi dia melihat kamu terus. Kayaknya kamu bakal jadi incarannya deh”
“ Ya enggak lah. Aku pasti bisa jaga diri kok.”
Akupun tersenyum pada Rani. Semoga Rani gak tahu pertemuanku yang kebetulan dengan cowok itu. Aku pun disuruh mengantar kue pesanan orang. Biasanya kalau yang ngantar kue Rani karena dia bisa bawa motor tapi hari ini katanya orangnya minta aku. Katanya sih kenal sama aku. Lagian gak jauh kok cuma dekat-dekat toko saja. Nama orang yang pesan itu Vano Christianto. Akupun menemukan rumahnya dan mulai memencet belnya. Rumahnya cukup besar dan asri sekali. Lalu seseorang membukakan pintu dan menyuruhku masuk dan duduk. Dan seseorang berdiri di depanku dan ketika kulihat keatas. Ya ampun cowok ini lagi?
“ Kuenya sudah datang ya?” kata cowok itu
“ Hei, kamu ngerjain aku ya? Pakai minta aku lagi yang nganterin. Apa sih maumu?”
“ Aku cuma pingin tahu kamu saja. Namaku Vano dan…..”
Belum selesai ia bicara aku langsung mengambil uang yang sedang dibawanya. Lalu aku menaruh kue di meja beserta bonnya.
“ Uangnya seratus lima puluh ribu kembali dua ribu lima ratus. Ini kembaliannya.”
Aku menaruh kembalian itu ditangannya lagi dan dia hanya tersenyum
“ Tugasku selesai. Ingat awas kalau kamu sampai ganggu aku lagi. Dan jangan tersenyum terus ntar disangka gila.”
“ Kau benar-benar cantik saat marah.”
“ Bodoh.”
Lalu akupun kembali ke toko dengan kesal. Rani begitu bingung melihatku.
“ Memangnya siapa sih Sit, kok kamu habis nganterin kue itu kayaknya kesel banget?” tanya Rani
“ Itu tuh ada orang yang ngerjain aku. Masa dia malah ngajak aku ngobrol sih?”
“ Hayo… siapa itu?” goda Rani. Aku gak mungkin cerita sebenarnya sama Rani.
“ Cuma orang gila aja. Sudahlah ayo kita kerja lagi.”
Sungguh menyebalkan cowok itu. Ya, namanya Vano Christianto. Setiap hari harus melihat wajahnya. Bahkan dalam bis pun ketika aku mau pergi malah bertemu dengannya. Ketika aku duduk tiba-tiba dia duduk disampingku
“ Hei nona, mau kemana nih?” godanya
“ Kau? Ya Tuhan kenapa aku ketemu kamu lagi sih?”
“ Ya, mungkin ini takdir.” Katanya
“ Maksud kamu apa?” tanyaku.
“ Ya, mungkin kita berjodoh?” katanya sambil mendekat padaku.
“ Hei, pergi atau aku akan teriak kau mau bertindak tidak senonoh padaku.”
“ Kenapa kau begitu membenciku?”
“ Pikir saja sendiri. Dasar playboy! Kalau begitu aku turun sini saja.”
“ Eh…tunggu…..” diapun menarik tanganku lalu aku memandangnya dengan sinis dan ia pun melepaskan tanganku.
“ Hm…kamu ini galak sekali. Aku cuma mau bilang kalau kebetulan yang terjadi berkali-kali disebut takdir. So, mungkin ini takdir kita.” katanya sambil tersenyum
“ Ih….. amit-amit deh. “
Aku pun akhirnya yang harus ngalah dan turun. Laki-laki itu super duper nyebelin banget. Apa dia gak pernah ya gak nyebelin? Akhir-akhir ini aku kecapekan tapi aku tetap masuk kerja saja. Hari ini aku datang agak kesiangan tapi belum masuk ke dalam toko kepalaku seperti berputar. Aku coba berdiri tapi kepalaku pusing dan aku lupa apa yang terjadi setelah itu. Saat terbangun kepalaku masih terasa pusing.
“ Aow…kepalaku sakit. Rani, dimana aku? Aku kenapa?” tanyaku
“ Kamu tadi pingsan dan cowok itu yang membawamu kesini.” kata Rani.
Lalu akupun mencoba duduk
“ Cowok siapa?” tanyaku
“ Vano, cowok yang kamu benci itu.” kata Rani.
“ Kok bisa?  Seingatku aku tadi mau masuk tapi kepalaku pusing. Itu aja.”
“ Entahlah. Dia tiba-tiba membawa kamu yang pingsan dan berteriak minta tolong. Sepertinya dia khawatir padamu.”
Apa itu benar? Sudahlah. Setelah badanku sehat aku kembali kerja. Sore ini cuaca mendung sepertinya musim hujan telah tiba tapi masalahnya aku gak bawa payung. Beberapa menit kemudian hujan benar-benar turun deras. Sudah waktu pulang, kami bersiap-siap pulang. Rani dijemput oleh Kak Bima. Duh enaknya….
“ Sita, ayo bareng masak kamu mau nunggu diluar toko seperti ini terus? Hujannya gak bakal reda dengan cepat.” kata Rani
“ Iya Sit, ayo kamu pakai aja payungnya sama Rani biar kakak paki mantel kakak.” kata Kak Bima.
“ Enggak, nanti kalau kakak kehujanan dan sakit aku nanti gimana? Sudah kalian pulang saja, aku disini nunggu reda lagian kayaknya hampir reda.” balasku.
“ Kayak gini reda? Sakitnya yang iya nanti. Kamu kan tadi pingsan pasti kondisimu masih gak stabil.” kata Rani.
“ Iya benar, biar aku saja yang mengantarnya.” kata Vano yang tiba-tiba saja datang.
“ Kamu?” akupun kaget melihatnya muncul di depanku apalagi kan disini ada Rani
“ Iya, ayo kuantar pulang daripada kamu nunggu reda?” balas Vano
“ Hm……kalau gitu aku pulang dulu ya Sit?” kata Rani dan iapun pulang bersama Kak Bima.
Aduh…..apa Rani marah ya? Ketika kulihat Vano aku menghela nafas panjang
“ Huh….kenapa kamu datang kesini sih?” tanyaku
“ Aku mengkhawatirkanmu jadi aku kesini bawa payung dan kebetulan kamu kehujanan. Bukannya pas banget?” balasnya sambil cengar-cengir gak jelas maksudnya.
“ OK kamu tadi nolong aku dan terima kasih tapi sudah cukup jangan ganggu aku lagi. Aku janji gak kan ikut campur sama urusanmu lagi dan kumohon kau menjauh dariku. Aku gak mau Rani salah paham.” kataku dengan tegas
“ Rani lagi Rani lagi. Apa kamu gak capek ngurusin orang lain? Asal kamu tahu kau malah yang membuatnya semakin terluka.” bentak Vano
“ Maksud kamu apa sih? Kau mau menyalahkan aku atas semua perbuatanmu dulu?”
“ Iya, aku dulu memang salah tapi dengan kau membayang-bayanginya dan mengingatkannya dengan kejadian dulu, itu sama saja dengan menusuk lukanya lagi. Apa kau paham? Aku cuma mengkhawatirkanmu saja, terserah kau percaya atau tidak. Pakai payung ini biar kau gak sakit.” kata Vano seraya menaruh payung didepanku. Kemudian Vano pergi tanpa pakai payung. Ia hujan-hujanan. Aduh, apa yang dikatakannya benar ya? Apa aku hanya membayang-bayanginya Rani dengan lukanya dulu? Kulihat Vano, dia kehujanan. Lalu akupun menghampirinya dan memayunginya.
“ Kamu nanti bisa sakit lho? Aku antar sampai depan rumahmu nanti payungnya kubawa pulang trus besok ambil aja di toko.” kataku.
“ Jadi kamu gak marah?”
“ Aku masih marah kenapa kau membentak aku dan mengganggu aku?”
“ Hm….rahasia. Tapi biar aku yang antar kamu pulang saja masa wanita dibiarin pulang sendirian sudah hujan lagi. Nanti kalau ada orang iseng gimana?”
“ Iya, orang itu kamu.” jawabku dengan sinis. Lalu Ia pun mengantarku pulang kerumah. Sesaat kami terdiam lalu ditengah jalan Vano tersenyum melihatku
“ Ngapain senyum-senyum? Oh….jangan-jangan kamu punya pikiran jelek ya? Tertawa lagi?” kataku keheranan melihat makhluk satu ini.
“ Kamu tahu gak? Kamu itu lucu banget dan galak banget.” katanya sambil tertawa.
“ Eh, maksud kamu apa?”
“ Iya, iya maaf. Nama kamu Sita kan?”
“ Memangnya kenapa?” tanyaku balik
“ Aku tahu selama ini aku memang pemuja wanita. Aku  suka pindah dari satu cewek ke cewek lain. Jadi wajar saja kau begitu membenciku apalagi salah satu korbanku adalah sahabat baikmu. Tapi setelah aku kenal seorang cewek aku jadi menyukainya. Bahkan mulai merasakan cinta yang belum pernah kurasakan.” katanya dengan penuh keseriusan
“ Udah deh, jangan mulai ngegombal lagi.” kataku.
“ Kamu ini benar-benar gak percaya ya sama aku?  Terserah deh kamu mau percaya atau enggak. Tapi ini benar, aku sudah merasakan cinta dan aku gak kan melepaskannya.”
Aku memandanginya dengan sinis. Terserah apa katanya tapi aku gak mau mendengarkan omongan orang kayak dia. Ia pun mengantarku sampai depan rumah lalu ia pergi. Untung aja ya ada Vano, kalau enggak pasti aku sudah kecapekan nunggu hujan reda. Esoknya, di toko Rani menghampiriku
“ Sit, kamu mulai kapan dekat sama Vano? Bukannya kamu begitu membencinya?” tanya Rani.
“ Enggak kok, siapa bilang aku dekat sama dia? Aku tetap sebel sama dia.” jawabku.
“ Sudah jangan bohong. Kamu suka padanya ya?”
“ A….a…apa? Ya ampun Ran, itu mana mungkin?” jawabku dengan terbata-bata
“ Lho gak pa pa kok. Sepertinya Vano menyukaimu.”
“ Tapi pria seperti dia mana bisa sih disuruh setia? Lagian….”
“ Aku? Kalau tentang aku gak usah kamu pikirin. Toh aku sudah punya Kak Bima yang kucintai dan mencintai aku. Toh Vano bagiku cuma masa lalu.” kata Rani.
“ Bukan…..maksudku…”
“ Sita, selama kamu bisa jaga diri gak seperti aku dulu bagiku gak masalah kok.”
“ Aduh….sudah sudah. Gak usah dibahas deh lagian aku gak ada apa-apa dengannya.”
Hari ini aku pulang sendirian, tiba-tiba seseorang menarik tanganku.
“ Vano, apa-apaan sih?” kataku sambil melepaskan genggamannya
“ Sit, aku pingin kita bicara sebentar saja. Boleh kan?” pintanya.
“ Iya….kamu mau bilang apa?”
“ Kita cari tempat yang enak buat ngobrolnya.”katanya.
“ Maksud kamu apa? Sudahlah kamu ngomong aja disini. Aku capek nih.”
“ Sit, kamu ingat kan aku bicara kemarin? Tentang perasaan berbeda pada seorang cewek. Aku sudah memastikan kalau aku mencintainya dan kali ini aku benar-benar sungguh-sungguh.” katanya.
“ Lalu? Apa hubungannya denganku? Kalau kamu suka katakan saja pada gadis itu. Tapi jangan pernah mainin perasaannya.” kataku.
“ Iya, aku janji tidak akan menyakitimu Sit.”
“ Bukan padaku tapi pada cewek itu. Sudahlah aku mau pulang dulu.”
“ Sita, aku mencintaimu…..”
Langkahku yang akan meninggalkan Vano terhenti. Apa maksudnya? Kok jantungku berdebar kencang ya?
“ Sudah deh gak usah bercanda? Asal kamu tahu aku gak akan tertipu olehmu.”
“ Sit, sejak mengenalmu aku benci dan ingin membuatmu jatuh cinta padaku. Tapi aku salah, semakin aku bertemu dan dimaki olehmu semakin aku mencintaimu. Entah kenapa tapi saat bersamamu aku senang dan bila kau bicara padaku sedikit saja hatiku benar-benar bahagia. Setiap hari aku semakin merindukanmu dan ingin terus di dekatmu.”
“ Aku harap kau hanya bercanda. Sudahlah aku mau pulang.”
Akupun langsung pulang. Jantungku hampir copot mendengar kata-kata Vano tadi. Tapi aku gak boleh tergoda olehnya. Baru lima langkah aku berjalan Vano sepertinya bicara tapi aku tetap tidak menoleh.
“ Sita, akan kubuktikan aku benar-benar mencintaimu dan aku rela melakukan apa saja untukmu.”
Ya Tuhan kok perasaanku jadi kacau ya. Kebetulan toko akan direnovasi jadi toko ditutup sekitar satu minggu. Kak Bima mengajak aku ke pantai bersama Rani tentunya. Aku pun menyetujuinya. Walaupun mungkin di sana aku hanya akan jadi obat nyamuk mereka saja. Kak Bima bilang akan menjemputku di depan rumah. Terdengar bunyi klakson mobil pasti itu Kak Bima. Akupun turun dan masuk ke mobil. Dan….Ya Tuhan ada Vano?
“ Kamu ikut juga?” tanyaku
“ Iya Sit, aku yang ajak sekalian biar ramai, nanti disana juga ada teman-teman Kak Bima juga lho?” jawab Rani
Sepanjang jalan aku duduk dibelakang dengan Rani. Sedang Kak Bima didepan dengan Vano Kemudian Rani membisikkanku sesuatu
“ Sit, kemarin Vano kerumahku. Kamu tahu gak dia minta maaf ke aku dan juga minta restu katanya dia mencintaimu dengan tulus. Lalu kuijinin deh asal dia gak mainin kamu.” bisik Rani padaku.
“ Apa?” teriakku
“ Ada apa Sit?” tanya Kak Bima dan Vano secara bersamaan.
“ Gak ada apa-apa kok. Cuma Rani aja yang bikin aku jantungan.” jawabku.
Aduh….Rani nyebelin deh. Sesampainya disana udara terasa segar. Aku dan Rani bergegas ganti baju dan berenang. Sedang Kak Bima dan Vano hanya berjalan di pinggir pantai. Kalau setahuku sih Vano gak bisa renang. Itu kata Rani, waktu masih pacaran sama Vano. Aku berenang agak ketengah tapi saat ditengah pantai kakiku tiba-tiba gak mau bergerak. Ya Tuhan kakiku kram……..tolong siapa saja. Aku coba berteriak minta tolong tapi air sudah memenuhi mulutku. Antara sadar dan tidak kudengar Rani berteriak minta tolong lalu sepertinya Vano berlari ingin menolongku. Tapi setelah itu aku gak ingat.
Saat terbangun aku ada dikamar dan kulihat ada Rani,
“ Ran….” sapaku.
“ Sita, kau sudah sadar? Syukurlah.” kata Rani
“ Aku dimana? Tadi aku…..”
“ Kamu dikamar wisma. Kami yang bawa kalian kemari. Kamu tadi hampir aja tenggelam.”
“ Kalian? Apa maksud kamu Ran?”
“ Kamu gak ingat ya? Tadi tiba-tiba kamu hampir tenggelam dan Vano menyelamatkanmu.” kata Rani
“ Vano? Tapi bukannya ia gak bisa renang?” tanyaku
“ Iya. Bukannya nolong tapi dia malah ikut tenggelam. Tapi sepertinya dia begitu mengkhawatirkanmu sampai lupa kalau dia sendiri tidak bisa renang.”
“ Lalu dia dimana sekarang?” tanyaku.
“ Dia di pantai.” Akupun bergegas menemui Vano.
“ Sita, kamu kan masih lemah.” kata Rani
“ Aku sudah baikan kok…”
Aku melihat Vano berjalan di pinggir pantai sambil melihat kebawah. Aku pun mendekatinya.
“ Kenapa kau lakukan itu?” tanyaku
“ Kau sudah sadar? Syukurlah….Maaf, aku tidak bisa menolongmu.”
“ Bukannya kau tidak bisa berenang kenapa kau tadi menolongku? Kalau terjadi sesuatu padamu gimana?” kataku
Kulihat Vano meneteskan airmata. Ya Tuhan apa yang kulihat ini benar?
“ Aku sudah berjanji akan melakukan semua untukmu. Aku juga berjanji pada diriku sendiri kalau aku akan menjagamu. Tapi aku tadi malah membuatmu ikut khawatir. “
“ Vano….”
“ Aku tidak peduli saat itu, yang kulihat hanyalah kamu dalam bahaya. Dan aku malah….” Vano kembali meneteskan airmata. Tanpa sadar kupeluk tubuhnya.
“ Terima kasih……” kataku sambil memeluknya
“ Sita?”
“ Saat tahu kamu menolong aku tanpa peduli kau bisa berenang atau tidak tiba-tiba hatiku senang sekali. Terima kasih ya?” kataku.
Kemudian Vano merapatkan kedua tangannya memelukku. Aku tahu kalau aku mulai menyukainya. Sejak saat itu hubunganku dengan Vano semakin dekat. Dalam hatiku masih terdapat sedikit keraguan pada Vano tapi suatu hari itu mengubah segalanya. Vano tertabrak mobil demi menyelamatkan aku dari mobil itu. Vano terluka cukup parah. Sejak saat itu aku yakin Vano memang untukku dan kamipun mulai berpacaran.
Vano benar-benar mencintaiku tak sedikitpun ia berpaling ke cewek lain. Aku benar-benar bahagia. Kami selalu bersama dan bercanda. Ia juga suka mencubit hidungku bila aku menggodanya. Hm…sungguh menyenangkan. Hubungan kami berjalan sudah 3 bulan. Bagi Vano ia tidak pernah bertahan dengan satu cewek lebih dari 17 hari selain denganku. Hari ini kami asyik jalan-jalan tiba-tiba Vano terjatuh dan pingsan. Aku membawanya ke pinggir dan mencoba membangunkannya dengan minyak kayu putih. Tapi Vano masih tidak bangun juga padahal sudah setengah jam. Akhirnya aku membawanya ke rumah sakit yang dekat dari tempat itu dengan bantuan orang-orang disekitar kami berada. Vano pun tersadar keesokan harinya.
“ Kamu sudah sadar?” tanyaku
“ Aku ada dimana?” tanya Vano
“ Kamu di rumah sakit. Dari kemarin kamu pingsan.”
“ Oh….kamu pasti kecapekan ya nunggu aku?” tanya Vano
“ Enggak kok. Aku benar-benar mengkhawatirkanmu. Sekarang dokter sedang berbicara dengan orangtuamu.”
Dua hari di rumah sakit Vano diijinkan pulang. Aku gak berani tanya macam-macam sama orangtuanya. Saat Vano pulang, aku sempat ikut mengantarnya.
“ Ayo aku bantu.” kataku sambil membantu Vano turun dari tangga
“ Sudahlah, aku bisa kok. Kayak orang sakit parah saja.” balasnya.
“ Hm ternyata cowok satu ini bisa sakit juga ya? Kukira kamu terbuat dari baja.”
“ Mulai lagi deh. Aku ini manusia juga bisa sakit lho.”
“ Takut ma air, kalau sakit sampai lama pingsannya trus apalagi ya hal aneh pada dirimu?” godaku
“ Ada satu hal “ kata Vano
“ Apalagi?” tanyaku
“ Aku bisa mati bila kehilanganmu.” Mendengar kata-kata Vano, akupun tertawa
“ Kamu ini mulai deh ngegombalnya.”
“ Sungguh Sita, bila aku kehilanganmu lebih baik aku mati saja “ kata Vano dengan wajah serius. Akupun melihat Vano dengan mata tak percaya.
“ Dasar bodoh. Bila aku kehilanganmu, aku cari yang lain dong.” kata Vano sambil mencubit hidungku.
“ Ah, Vano.”
“ Berjanjilah kau tidak akan meninggalkanku meski maut memisahkan.” kata Vano
“ Kamu ini ngomong apaan sih? Aku gak akan ninggalin kamu kok. Tapi kalau kamu melirik gadis lain akan kutinju mukamu biar kau terlihat jelek “ ancamku
“ Ih….kamu sadis sekali sih?”
“ Vano, aku boleh tidak tanya satu hal?”
“ Apa?”
“ Kamu sebenarnya sakit apa sih? Aku tidak berani tanya pada orangtuamu.” kataku.
“ Aku sakit jiwa karena kamu tidak mau memeluk dan menciumku.” goda Vano
“ Iiihhh…. Kamu itu jangan bercanda dong? Aku baru tahu ada orang yang masih suka bercanda padahal habis koma sehari.”
“ Iya iya maaf. Aku juga gak tahu mungkin nanti ibu mau memberitahuku. Pasti gak parah kok jadi jangan khawatir ya? Aku gak mau kamu sedih.”
Meski Vano sudah bilang tidak ada apa-apa tapi perasaanku tidak enak. Aku takut terjadi sesuatu padanya. Melihat Vano seperti biasanya membuat kekhawatiranku lenyap. Jujur aku dulu memang membencinya tapi sekarang aku justru malah tergila-gila padanya. Esoknya aku menelepon Vano tapi sepertinya sikapnya aneh.
“ Vano, kamu kenapa sih dari tadi aku ngobrol kamu kalau gak jawab ya pasti tidak. Kamu kenapa sih? Atau gak suka ya aku telepon? Ok deh, aku tutup aja dagh…”
“ Sita, maafkan aku ya?”
“ Habis kamu sih diajak ngobrol gsk ada respon.” jawabku.
“ Maafin aku ya? Aku pingin kamu tahu aku tak bisa hidup tanpamu. Aku benar-benar menggilaimu. Bila suatu saat kau temukanku menyakitimu maafkan aku dan pergilah dariku. Aku tak mau kau terluka karenaku. Selamat malam.” kata Vano lalu menutup telepon.
Apa sih maksud cowok ini. Bikin khawatir orang saja. Beberapa hari ini sikap Vano aneh. Dia tidak lagi datang ke toko, mengajak aku jalan-jalan dan bila kutelepon selalu saja ada alasannya. Ketika kutanya kenapa dengannya, dia bilang sedang sibuk. Tapi yang lebih aneh dia selalu saja mengatakan kata-kata yang sama tiap kutelepon atau ketemu. Dia selalu bilang ‘ aku mencintaimu dan tak bisa hidup tanpamu. Maafkan aku Sita ‘ hanya itu dan lalu dia gak bilang apa-apa lagi. Aneh kan?
Suatu hari Vano meneleponku dan mengajakku ketemuan. Ok akupun datang. Dia terlihat lesu sekali dan sepertinya ada hal yang benar-benar serius yang ingin dikatakannya
“ Hai Vano, ada apa? Hm gak sibuk lagi ta?” godaku
“ Sita, ada hal yang ingin kukatakan.”
“ Ada apa?” kulihat Vano begitu serius. Tak pernah kulihat Vano seserius ini kecuali saat dia bilang cinta ke aku.
“ Aku ingin mengakhiri hubungan kita ini. Aku ingin kita putus.”
Akupun tertawa mendengar lelucon Vano itu.
“ Kamu bercandanya aneh-aneh saja. Sudah deh kamu itu mau ngomong apa?”
“ Sita, aku ingin kita putus.”
“ Sudahlah Vano, jangan main-main. Aku berangkat dulu sudah telat ni Dagh….”
Akupun kembali ke toko. Vano itu aneh-aneh saja. Tapi tiba-tiba perasaanku gak enak. Kalau beneran itu terjadi gimana? Tapi sudahlah kayak gak tahu Vano aja dia tuh tukang usil dan jahil apalagi ke aku.
Hingga suatu hari kulihat Vano bersama cewek lain dan mereka bermesraan. Karena sedang ada banyak pembeli aku mengurungkan niatku menemui Vano saat itu juga. Esoknya aku bertemu Vano dijalan bersama gadis lain lagi. Akupun menghampirinya
“ Vano, apa-apaan ini? Kamu mau mengerjai aku lagi ya?” kataku
“ Siapa yang ngerjain? Aku sudah bosan padamu dan aku kan sudah minta putus darimu. So, diantara kita tidak ada apa-apa lagi.”
“ Vano, maksud kamu?”
“ Sita, aku beneran kok gak bercanda. Dan kenalin ini pacarku Ami.”
“ Vano, kamu bohong kan?”
Kemudian Vano dan gadis itu pergi. Enggak. Ini gak bener. Vano gak mungkin melakukan ini padaku. Tapi dari matanya terlihat keseriusan. Aku gak mau kehilangan Vano. Enggak mau. Aku benar-benar bingung.
“ Sita, kamu nangis?” tanya Rani
“ Enggak kok Ran, cuma kelilipan saja. Ada apa?” tanyaku balik
“ Sita, kamu jangan bohong. Aku kenal kamu dan kamu gak bisa mengelak lagi. Ada apa Sit? Ayo katakan!”
“ Rani, aku….aku….”
“ Aku apa sih ?”
“ Ran, aku sudah putus dengan Vano.” kataku sambil menahan tangis yang mau keluar dari mataku. Aku tak mau orang lain melihatku menangis.
“ Sit, apa itu benar?” tanya Rani sekali lagi untuk meyakinkannya.
“ Iya.”
“ Kurang ajar banget cowok itu. Setelah menyakitiku sekarang mempermainkanmu. Apa dia gak punya hati? Padahal kukira dia tulus padamu tapi dia tetap saja.”
“ Sudahlah Ran, aku baik-baik saja kok” kataku. Tiba-tiba airmataku menetes.
“ Sita, sabar ya? Cowok yang gak bisa setia seperti dia saja tidak pantas kau cintai Sit. Kamu jangan nangis ya?” kata Rani sambil memelukku untuk menenangkanku.. Aku malah menangis mengingat semua ini. Apa mungkin Vano kembali seperti dulu?
“ Enggak. Aku sedih karena aku takut kehilangannya. Tapi aku yakin dia tidak mungkin melakukan ini padaku. Dia pasti menyembunyikan sesuatu. Aku yakin” balasku.
“ Aku tahu itu. Dulu aku juga berpikir begitu. Tapi lambat laun kamu pasti bisa melupakannya seperti aku.”
“ Enggak, Ran. Perasaanku bilang ada yang disembunyikannya. Aku benar-benar yakin.” bantahku.
Aku berkali-kali mencoba meminta penjelasan pada Vano tapi ia selalu saja menghindar dan kulihat ia kembali bergonta-ganti pacar. Hari ini dijalan kulihat Vano dan kuhampiri dia.
“ Vano, maksud kamu apa? Apa kau mau kembali seperti dulu? Kenapa? Apa salahku? Apa karena kau bosan padaku?” kataku
“ Iya, aku sudah bosan padamu. Sudah tahu tanya lagi.” jawab Vano sinis
“ Kau pasti bohong. Kau jahat.”
“ Siapa sih gadis ini, sayang?” tanya pacar Vano yang baru.
“ Dia itu bukan siapa-siapa aku. Dia pasti terlalu menyukaiku sampai seperti ini. Minggir.” kata Vano lalu mendorongku jatuh kebawah
“ Aow…sakit. Vano kenapa kau begitu jahat?”
Vano tega sekali mendorong aku hingga terjatuh. Aku menangis bila mengingat kejadian itu. Vano sebelumnya begitu mencintaiku bahkan gak akan tega melihatku terluka. Tapi sekarang dia malah melukaiku. Hari ini kuputuskan menemui Vano dirumahnya. Tapi dia tidak mau keluar. Aku pun menelepon Vano.
“ Halo.” sapa Vano ditelepon
“ Kumohon temui aku. Kutunggu diluar sampai kau keluar. Kumohon bila kau mencintaiku keluarlah.” Lalu akupun menutup telepon
Hujan turun cukup deras. Aku tetap berdiri disitu menunggu Vano. Bila Vano keluar dan menemuiku berarti dia masih mencintaiku. Tapi bila dia tidak peduli dan membiarkanku kehujanan berarti dia benar-benar bukan Vanoku yang dulu kucintai. Vano tek kunjung keluar padahal hujan semakin deras. Vano, keluarlah kumohon. Aku tidak akan kuat lama lagi. Tubuhku mulai lemas dan Vano masih belum keluar juga. Benarkah kau hanya mempermainkanku waktu itu? Kepalaku pusing dan aku tak kuat berdiri lagi. Tiba-tiba seseorang menangkap tubuhku yang akan jatuh. Aku tidak tahu lagi apa-apa setelah itu tapi aku yakin itu pasti Vano.
“ Aku dimana? Rani?” kataku
“ Sita, kamu ini kenapa sih?” tanyanya
“ Tadi aku…..sudahlah ternyata kau yang menolongku ya?”
“ Apanya? Tadi ibumu menelepon katanya kamu pingsan dari semalam. Bagaimana mungkin kamu bisa pingsan sih?” tanya Rani
“ Jadi ibuku yang menolongku?”
“ Kemarin aku menemui Vano untuk memastikan kalau dia berbohong tapi setelah kutunggu berjam-jam dia tak juga keluar menemuiku meski aku telah basah kuyup.”
“ Sita, kenapa kau jadi seperti ini? Kalau ada apa-apa denganmu bagaimana?”
“ Maaf…..”
“ Lain kali jangan lakukan ini. Sudahlah kamu lupakan saja Vano.”
“ Ibu bawain teh buatmu, Sit.” kata ibu yang membawakan 2 gelas teh untuk kami.
“ Ibu, maafkan Sita ya? Ibu jadi khawatir padaku dan pasti ibu berat ya membawaku pulang? Maaf bu.” kataku.
“ Apaan sih? Bukankah sebaiknya kamu minta maaf dan berterimakasih padanya. Karena ia telah membawamu pulang meski dia juga kehujanan.” kata ibu.
“ Dia siapa bu?” tanyaku
“Cowok tampan yang sering menjemputmu dan mengajakmu jalan-jalan itu lho. Siapa namanya? Oh…Vano. Ya, Vano.”
“ Vano? Ibu, aku pergi dulu ya?”
“ Kamu kan masih sakit Sit.” Kata ibu
“ Aku cuma sebentar kok bu.”
“ Sita….” teriak Rani
Aku yakin itu Vano. Ya benar itu Vano. Kalau begitu Vano masih mencintaiku. Aku harus menemuinya. Tapi ketika kuberlari kerumahnya dijalan kulihat dia akan pergi kesuatu tempat. Dengan wajah dan baju yang kusut, kuikuti Vano. Dia sampai di depan sebuah rumah sakit. Itu kan rumah sakit tempat Vano dulu pernah dirawat? Kuikuti Vano, lalu ia masuk di sebuah ruang dokter spesialis jantung. Ngapain Vano kesitu? Apa jangan-jangan orangtua Vano sakit atau…..entahlah. Setelah dari rumah sakit, aku masih mengikutinya. Ketika dalam perjalanan mengikuti Vano pulang kerumah, tanganku ditarik seseorang.
“ Sita, kau ini darimana saja? Lihat kamu kelihatan kusut dan belum mandi.”
“ Ya ampun Rani. Tuh kan Vano jadi hilang deh.”
“ Sit, Vano itu bukan untukmu. Meski dia sudah menolongmu tapi belum tentu dia masih cinta padamu.”
“ Sudahlah Ran, aku gak mau berdebat denganmu.”
Aku pun balik ke rumah. Sudah beberapa hari kuikuti dan kulihat kegiatan Vano. Tapi tidak ada hal mencurigakan. Sepertinya Vano memang cuma mempermainkanku. Ketika aku pulang kerja, aku berpapasan dengan Vano tapi dia gak peduli padaku. Dia tetap berjalan lurus dan akupun tak menoleh ke arah Vano. Hatiku sakit sekali. Bertemu dengan orang yang kucintai seperti berpapasan dengan orang asing. Hanya diam dan tak ada senyum. Sudahlah aku ini mengapa belum sadar juga kalau aku hanya dipermainkan?
“ Hei, kamu pacar Vano ya? Kalian sudah putus?” tanyaku pada gadis yang bersama Vano kemarin
“ Iya. Aku pacarnya dan kami juga langsung putus besoknya.”katanya
“ Oh, maaf. Aku gak bermaksud begitu.”kataku
“ Gak apa-apa. Kamu pasti juga mantan pacarnya ya? Kita memang cuma dipermainkan saja olehnya. Tapi kadang aku kasihan melihatnya. Cintanya harus pupus.”
“ Apa maksudmu?” tanyaku
“ Kamu gak dikasih tahu cerita cintanya? Katanya sih dia mencintai seorang gadis. Tapi katanya bila dia terus bersama gadis itu, gadis itu akan menderita. Makanya dia Vano menjauh dari gadis itu. Kalau gak salah nama gadis itu namanya Sita.” kata gadis itu.
“ Vano…”
Aku? Vano mencintaiku. Lalu kenapa selama ini dia berbohong? Bukankah kami saling mencintai lalu ada apa? Pasti ada yang disembunyikan oleh Vano tapi apa? Aku tahu Vano akan tetap mengelak dan aku harus mencari tahu sendiri alasan Vano. Tapi hasilnya masih nihil.
“ Sita.” Sapa seseorang dari arah belakangku. Setelah kutoleh ternyata ada ibunya Vano. Akupun menghampiri ibu Vano di belakangku lalu kami berjalan bersama.
“ Tante, gimana kabarnya?”
“ Baik kok. Kamu terlihat begitu kecapekan kenapa Sita?”
“ Mungkin aku kurang istirahat saja. Tante darimana?”
“ Ini, habis menebus obat dari apotik.”
“ Siapa yang sakit tante?” kataku
“ Eh….bukan. Bukan siapa-siapa kok. Hm…tante duluan ya?”
Ibu Vano lalu pergi. Siapa sebenarnya yang sakit kok ibunya Vano gak mengijinkan aku tahu. Saat ibu Vano pulang mendahuiluiku sehelai kertas jatuh dari tasnya. Kupungut kertas itu dan ingin kukembalikan tapi ibunya Vano sudah pergi. Ketika kulihat ini sebuah resep dokter. Aku menuju rumah Vano untuk mengembalikan kertas itu tapi ketika iseng kubaca resep itu atas nama Vano. Jadi Vano sakit tapi kenapa ibunya tak cerita ke aku.
Aku mengurungkan niatku untuk mengembalikannya. Perasaanku tak enak jadi aku pergi ke apotik menanyakan obat itu.
“ Permisi mbak, bolehkah saya tanya ini resep obat apa ya?” kataku sambil menyerahkan kertas itu pada apoteker. Tak lama kemudian apoteker itu keluar
“ Resep ini milik anda?”
“ Bukan, tapi itu milik pacar saya. Ada apa mbak? Dia sakit apa?” tanyaku
“ Ini obat biasanya diminum oleh penderita jantung dan obat ini yang paling keras.”
“ Maksud mbak apa?” tanyaku dengan ketakutan
“ Ini obat untuk penderita jantung yang sudah parah.”
Akupun pergi sambil mengenggam resep itu. Aku gak percaya lalu akupun menemui dokter spesialis jantung yang pernah dikunjungi Vano.
“ Dokter, katakan itu bohong.” kataku sambil menunjukkan resep itu.
“ Ada apa ini?” kata dokter itu
“ Aku mohon dok, katakan sebenarnya Vano sakit apa? Aku pernah melihatnya kesini? Katakan dok ini bukan milik Vano kan?”
“ Anda ini siapa? Dan bagaimana mungkin resep ini jatuh ke tangan anda.”
“ Dok, dia sakit apa?” paksaku
“ Maaf tapi penyakit seseorang adalah privasinya. Jadi saya tidak bisa memberitahumu. Sekarang lebih baik anda keluar.” Dokter itupun berdiri dan mencoba mengusirku. Lalu akupun berlutut di depannya
“ Ia adalah orang yang sangat kucintai dok. Tiba-tiba dia menjauh dariku. Kumohon katakan itu salah kan? Apoteker itu bilang dia sakit jantung yang sangat parah. Kumohon dok” Akupun berlutut dan menangis. Kemudian dokter itu menyuruhku berdiri.
“ Jangan begitu. Aku akan terlihat seperti orang yang tidak punya perasaan. Kau benar, Vano sedang sekarat. Dia memiliki penyakit jantung dan ada masalah dengan jantungnya. Umurnya tidak akan lama lagi.”
“ Dok, katakan bagaimana cara menyembuhkannya?”
“ Hanya ada satu cara yaitu donor jantung. Tapi masalahnya tidak ada orang yang mau melakukannya.”
“ Ada dok. Aku. Aku akan mendonorkan jantungku untuknya.”
“ Tapi kamu bisa mati.”
“ Aku gak peduli dok. Kumohon beritahu aku kapan operasi itu dapat dilakukan?”
“ Kamu tenangkan dirimu dulu lalu nanti akan kuhubungi.”
Akupun pergi. Vano gak boleh ninggalin aku. Gak boleh. Aku begitu kacau setelah mendengar kata dokter itu. Kalau Vano pergi aku sama siapa? Seharian ini aku tak ada nafsu untuk makan. Aku ingin menemui Vano tapi aku gak tahu harus bilang apa? Esoknya
“ Sit, kamu kenapa kok pucat sekali?” tanya Rani
“ Gak pa-pa kok.” jawabku
“ Kamu kenapa sih kamu terlihat lesu. Kamu sakit ya?”
“ Enggak.”
Tiba-tiba ada seseorang menarikku keluar toko
“ Vano?”
Plaaakkk….tiba-tiba Vano menampar pipiku dan kemudian kulihat dia menangis
“ Kenapa? Kenapa hah? Kenapa kau berbuat seperti itu?” tanya Vano
“ Vano, hentikan.” teriak Rani
“ Dokter memberitahuku tentang rencana bodohmu itu. Apa kau ingin mati?” bentak Vano.
“ Iya, aku ingin mati. Apa kau tahu setelah kau mengejarku lalu kau mencampakkan aku. Dan ketika kutahu tentang penyakitmu apa yang bisa kulakukan? Aku cuma gak ingin kehilanganmu.”kataku
“ Apa kau pikir bila kau lakukan itu aku gak menderita? Aku akan melihat orang yang kucintai berkorban nyawa demiku. Lalu apa gunanya aku hidup?” teriak Vano padaku. Akupun menangis mendengar perkataan Vano itu. Kemudian Vano memelukku
“ Ini yang terbaik. Lebih baik aku yang pergi dulu daripada aku harus kehilanganmu. Karena aku tak bisa hidup tanpamu. Berjanjilah jangan lakukan hal bodoh itu lagi.”
Aku semakin menangis. Vano memelukku begitu erat kemudian dia menyeka airmataku. Pulang kerja Vano mengantarku hingga depan rumah. Aku masih sedih karena aku akan kehilangan Vano.
“ Sudah jangan nangis lagi.” kata Vano
“ Kamu jangan pergi dulu ya?” pintaku
“ Iya, sudah masuk sana sudah malam.” Akupun masuk dan Vano pulang ke rumahnya.
Esoknya kutemukan surat di depan rumah, untukku? Kubuka dan kubaca surat itu.


Untuk gadisku yang galak


Tunggu jangan nangis dulu. Entah sejak kapan kau jadi cengeng begini. Padahal aku mengenalmu karena sosokmu yang tegar dan galak….. Aku sangat mencintaimu….tapi aku gak bisa bersamamu dengan keadaanku yang begini. Kau akan terluka dan menderita bersamaku. Karena itulah aku dulu menjauh darimu. Saat tahu kau mau menyerahkan jantungmu untukku, hatiku sakit dan sedih. Aku tidak berguna untukmu. Tapi….aku senang ketika tahu kau begitu mencintaiku. Mungkin inilah hukuman untukku. Selama ini aku selalu mempermainkan perasaan wanita dan….sekarang aku dijauhkan dari wanita yang kucintai.
Aku sedih bukan karena penyakitku ini. Aku sedih karena aku tak lagi bisa melindungimu. Kenapa Tuhan melakukan ini pada kita? Tapi sayangku….kamu harus tegar dan kuat. Aku sangat….mencintaimu…. meski maut memisahkan kita
Mungkin saat kau terima surat ini aku sudah pergi. Tapi inilah yang terbaik. Ingatlah dimanapun aku berada aku akan menjagamu meski kita dialam berbeda. Aku mencintaimu.

                                                                                                                  Vano



“ Enggak….kamu gak boleh pergi.” Teriakku
Aku harus mencarinya. Aku pergi kerumah Vano tapi rumahnya kosong, tidak ada satu orang pun disana. Aku menghubungi handphonenya tapi handphonenya dimatikan. Kuhubungi semua nomor yang kukenal tapi mereka tak tahu keberadaan Vano. Aku berlari meminta bantuan Rani dan aku terjatuh. Kakiku terluka, meski sakit aku tetap berusaha berjalan. Akupun mengetuk rumah Rani dan Rani pun membukakan pintunya.
“ Astaga Sita, kaki kamu berdarah. Kamu kenapa?” tanya Rani.
“ Tolong aku Ran. Aku…”
“ Sit, kamu tenang dan ceritakan padaku ya?”
“ Ran, Vano pergi. Dia ninggalin aku. Bantu aku Ran. Bantu aku mencarinya.”
“ Sita, lupakan Vano. Dia itu tidak tulus mencintaimu. Dia hanya mempermainkanmu.”
“ Enggak. Sebenarnya Vano sedang sekarat, dia sakit jantung dan ada kebocoran di jantungnya. Kata dokter umurnya tidak akan lama lagi. Sekarang dia pergi untuk menjauh dariku.”
“ Sit, apa itu benar?” tanya Rani yang terkejut mendengar hal itu
“ Iya. Tolong aku Ran. Aku ingin menghabiskan waktu bersamanya. Aku mohon?”
“ Tentu. Aku juga akan minta tolong pada Kak Bima. Kamu sekarang masuk dulu dan kuobati lukamu itu. Lalu kita cari bersama ya?”
“ Terima kasih Ran.”
Setelah kakiku kuobati, kami mencari Vano ke semua tempat yang pernah kami kunjungi maupun yang belum. Aku, Rani dan Kak Bima. Kami mencari ke seluruh pelosok kota. Kak Bima mengelilingi kota dengan mobilnya, aku dan Rani berpencar mencari kemana-mana. Kami bertiga bertemu di jalan raya. Tapi sampai jam 7 malam Vano belum ketemu juga.
“ Hasilnya nihil. Aku sudah mencari di terminal dan stasiun tapi Vano tidak ada.” kata Kak Bima.
“ Iya, aku juga tidak menemukannya. Mantan pacarnya pun kutanya tidak tahu. Sita, kita lanjutkan besok saja ya?” kata Rani
“ Enggak Ran, aku akan mencarinya sampai ketemu.” Akupun tak kuasa membendung tangisku lagi.
“ Sit, kalau kamu seperti ini terus mana bisa kita mencari Vano? Kakimu masih sakit dan emosimu gak stabil. Lebih baik kita lanjutkan besok, aku janji akan membantumu sampai Vano ketemu. Ya?” kata Rani dengan nada yang keras
“ Rani benar Sit, kamu harus istirahat dulu ya? Besok pagi sekali aku akan datang menjemputmu untuk mencari Vano.” kata Kak Bima
“ Baiklah…..” jawabku pasrah.
Semalaman aku berpikir dimana dan dimana Vano berada kuhubungi rumahnya tapi tidak ada yang mengangkat. Mungkinkah Vano dan keluarganya pergi jauh? Aku duduk dan mencoba mencari tempat di peta hingga tanpa sadar aku tertidur di meja di kamarku. Saat terbangun jam baru menunjukkan pukul 3 pagi. Aku tetap terjaga. Hingga pukul 6 pagi aku dijemput oleh Kak Bima dan Rani. Kami mencari Vano lagi tapi hasilnya tetap sama.
“ Ran, kamu cari dengan Kak Bima ya? Aku mau pergi dulu sebentar.” kataku.
“ Kamu mau kemana Sit?” tanya Rani
“ Aku mau kerumah Vano.”
“ Tapi kita sudah kesana berulang kali dan rumahnya kosong.” kata Kak Bima.
“ Aku yakin kak pasti orangtua Vano akan pulang.”
“ Baiklah terserah kamu. Tapi bila ternyata tidak ada kamu telepon aku ya?”kata Rani
“ Iya.” kataku
Akupun bergegas kerumah Vano. Entah apa tapi rasanya orangtuanya pasti akan pulang. Sesampainya didepan rumah Vano pagarnya masih terkunci. Kuketuk berulang kali tapi tak ada yang keluar. Aku menunggu di depan pagar sambil duduk di tanah. Aku lelah tapi aku harus menunggu. Selang dua jam aku menunggu muncul mobil orangtua Vano. Lalu mereka pun keluar saat melihatku duduk di depan pagar mereka.
“ Astaga Sita, kamu sedang apa?” tanya ibu Vano
“ Aku….aku mencari Vano….Tante, kumohon katakan padaku dimana Vano berada? Kumohon. Aku sangat mencintainya tolong pertemukan aku dengannya……” kataku sambil bersimpuh di depan ibu Vano.
“ Ya ampun Sita….kamu ngapain sih? Ayo berdiri.” kata ibu Vano sambil membantuku berdiri
“ Tante aku mohon….” Akupun menangis dan ibu Vano memelukku lalu mengajakku masuk kedalam rumahnya.
“ Minumlah dulu biar kamu tenang.” kata ibu Vano yang baru keluar dari dapur membuatkan minum untukku dan menaruhnya di meja.
“ Sita, sekarang jelaskan pada tante kamu kenapa berada di depan pagar seperti itu?”
“ Tante, Vano pergi meninggalkanku. Apa Tante tahu dimana dia berada sekarang?” tanyaku sambil meletakkan minuman kembali ke meja.
“ Kalian berdua saling mencintai, tapi ujian hidup sudah terlalu keras pada kalian. Vano pernah bilang mungkin ini hukuman untuknya. Dulu dia mudah sekali berpindah dari satu wanita ke wanita lain. Tapi ketika dia mulai menemukan tempat hidupnya, kehidupan menghukumnya. Andai saja penyakit itu milikku bukan miliknya. Tante senang ketika tahu dia memilih hidupnya hanya untukmu. Maafkan tante…..” Ibu Vano menangis pasti ia juga sangat terpukul.
“ Tante tahu dimana Vano sekarang?” tanyaku
“ Kemarin seharian Tante mencarinya dan…..”
“ Katakan Tante dia dimana?” tanyaku
“ Dia di Surabaya, itu kata teman Tante yang kebetulan melihatnya disana. Katanya dia naik bis tapi tak tahu kemana.”
“ Terimakasih Tante.”
Akupun bergegas pergi. Kembali kerumah dan bergegas menyiapkan barang bawaan. Aku menelepon Rani untuk menghentikan pencariannya.
“ Kamu sudah menemukannya? Dimana?” tanya Rani
“ Di Surabaya dan aku mau kesana. Rani, aku tadi belum pamit ke ibu tolong bilang padanya aku pergi tugas mendadak ke Surabaya dan suruh ibu jangan khawatir.”
“ Tapi Sit, kamu mau kesana sendirian? Biar aku antar.”
“ Enggak Ran, makasih tapi aku ingin bersamanya. Tolong ya katakan itu pada ibu. Aku terpaksa berbohong karena tidak mau ia khawatir.”
Aku pun menutup telepon. Sekarang aku sudah sampai di Surabaya tapi aku bingung naik bis dimana dan apa? Aku menuju terminal bis terdekat dari pusat kota Surabaya. Aku menunggu di terminal sambil berpikir kemana? Lalu aku mulai bertanya pada sopir dan orang-orang disana sambil menunjukkan foto Vano. Tapi mereka tidak tahu. Lalu aku pun duduk di sebuah kursi lalu ada anak kecil menghampiriku
“ Kakak, kenapa?” tanyanya
“ Enggak apa-apa kok. Kamu ngapain disini?” tanyaku
“ Aku kesini dengan ibu. Kami baru saja pergi belanja dikota dan mau pulang. Itu apa kak?” tanya sambil menunjuk foto Vano
“ Ini foto teman kakak yang kakak cari.”
“ Oh….soalnya mirip dengan kakak yang baru pindah di desa kami. Namanya Kak Vano.”
“ Kamu kenal? Dimana di desa mana?”
Akupun ikut pulang bersama anak itu dan ibunya. Mereka mengantarkan aku sampai  didepan rumah Vano.
“ Dia tinggal disini dan mungkin jam segini dia lagi jalan-jalan ke perkebunan.”
“ Terima kasih bu.”
Aku masuk kedalam rumah kecil itu. Disini masih pedesaan dan suasananya segar sekali. Masih banyak pohon dan kebun. Terdengar pula suara gemericik air meski jauh terdengar. Aku melihat seisi rumah dan benar ini barang-barang Vano. Di meja kamarnya ada pula foto kami berdua. Kudengar suara orang membuka pintu dan akupun keluar. Dan yang kulihat adalah Vano. Dia benar Vano. Vano pun terkejut melihatku. Akupun langsung memeluknya.
“ Sita, kamu…”
“ Jangan tinggalkan aku lagi ya? Aku gak mau kehilanganmu. Meski hanya sebentar aku ingin bersamamu.”
“ Sita, tapi aku….”
“ Enggak ada tapi-tapian. Aku sayang padamu dan ijinkan aku menemanimu sampai saat itu tiba.”
Wajah Vano terlihat begitu pucat. Aku menjalani hari-hari bersamanya. Kami melihat perkebunan bersama dan bercanda bersama seolah tidak akan terjadi sesuatu lagi.
“ Hm…pasti kamu penasaran kan suara gemericik air ini ayo ikut aku.” kata Vano
“ Iya…”
Vano mengajakku ke sebuah sungai yang jernih.  Untuk melewatinya harus mendaki karena tanahnya tinggi. Di pinggiran sungai masih banyak pepohonan tinggi dan liar seakan memberi kesan alam liar. Hm…sejuknya. Airnya begitu jernih dan segar. Kami bermain air dan tertawa bersama. Sungguh menyenangkan. Hari demi hari yang kulalui bersama Vano disini seakan membuatku tak ingin kehilangannya. Tak terasa sudah dua minggu aku disini.
Malam ini cuaca sangat dingin. Sudah tengah malam tapi aku tetap terjaga. Kucoba memejamkan mata tapi sulit. Akupun mulai merasakan perasaan yang tidak enak. Aku pergi kekamar Vano dan mengintipnya. Aku cuma mengkhawatirkannya saja. Kulihat Vano sedang merintih kesakitan. Lalu akupun menghampirinya.
“ Vano, kamu kenapa?” tanyaku
“ Sakit sekali…sakit…”
“ Vano, kamu harus bertahan….” kataku sambil menangis lalu aku memeluk Vano yang kesakitan tapi ia tetap merintih kesakitan.
“ Obat….obatnya dimana?” tanyaku sambil mngobrak abrik isi laci untuk mencari obat. Aku menemukan obat
“ Vano, apa ini?” tanyaku.
Vano hanya mengangguk saja. Lalu akupun meminumkan obat itu padanya. Kemudian Vano tertidur dan kuselimuti tubuhnya. Kuambil botol obat itu dan kubaca. Obat penahan rasa sakit? Apa Vano harus meminum ini terus? Lalu kalau tidak mempan lagi bagaimana? Aku sedih membayangkan semua itu. Akupun kembali kekamar untuk mengambil kameraku. Aku memfoto Vano lalu aku menangis.
“ Aku sangat mencintaimu Vano. Sangat. Aku akan selalu merindukan matamu yang bulat ini, hidungmu yang mancung, bibirmu dan keningmu yang indah.” Aku mulai memejamkan mata dan menangis
“ Tapi kenapa setiap kupejamkan mata aku selalu lupa pada wajahmu. Padahal sudah berkali-kali kucoba tapi selalu gagal. Bagaimana bila aku lupa pada wajahmu? Aku harus bagaimana Van? Tunggu biar kupotret wajahmu..”
Aku mempotret wajah Vano berulang kali smbil menangis. Biarlah aku simpan wajahmu karena aku takut melupakanmu. Kusentuh wajahnya. Betapa aku mencintaimu Vano…. Esoknya Vano sudah terlihat agak baikan
“ Maafkan aku ya?” kata Vano
“ Buat apa?”
“Semalam aku telah membuatmu khawatir. Aku hanya membuatmu menderita saja.”
“ Hust…jangan ngaco ah. Aku mencintaimu dan apapun akan aku lakukan untukmu.”
Malam pun tiba, Vano menyuruhku mengenakan gaun dan berdandan. Katanya dia akan memberiku kejutan. Akupun memakai gaun itu dan Vano menunggu diluar kamarku
“ Sita, kamu….kamu cantik sekali….” kata Vano dengan begitu terkejutnya
“ Memangnya ngapain sih?”
“ Tapi aku tutup matamu dulu ya?” kata Vano sambil menutup mataku dan menuntunku
“ Sudah sampai?” tanyaku
“ Iya. Kau boleh buka penutup matanya.”
Aku melihat sebuah meja dengan lilin-lilin dan makanan. Vano menata meja itu dibelakang rumah. Sebuah suasana yang romantis dimalam yang berbintang dan terang rembulan.
“ Vano, ini….?”
“ Kita makan malam romantis yuk?” ajaknya
Tuhan, berikan aku Timeout untuk saat ini. Aku ingin bersamanya lebih lama lagi. Aku rela umurku berkurang asal aku bisa terus bersamanya.
“ Sita, ada sesuatu untukmu.”kata Vano sambil menyerahkan sebuah kotak kecil
“ Apa ini?” tanyaku
“ Sudah buka saja. Aku harap kamu suka.”
Akupun membuka kotak itu dan didalamnya ada dua buah cincin yang sangat indah. Sepasang cincin putih bermata biru yang berhiaskan lambang hati dan bintang. Indah sekali. Kupungut cincin itu dari kotak. Aku tersenyum kepada Vano. Lalu ia mengambil cincin itu.
“ Disini ada nama kita berdua. Kamu pakai yang ada namaku dan aku pakai yang ada namamu.”kata Vano sambil memakaikan cincin tersebut ke jemari tanganku. Aku tersenyum dan akupun juga memakaikan cincin yang satunya ke jari Vano. Kami saling tersenyum dan kupandangi cincin itu.
“ Sebenarnya cincin itu sudah lama kubeli dan ingin kubuat untuk melamarmu. Tapi, itu tidak mungkin jadi begini saja. Cincin ini kelak akan menyatukan kita dan sebagai benang merah diantara kita yang tidak akan putus oleh waktu dan maut.”
“ Iya, akan kupakai cincin ini sampai kapanpun dan takkan kulepas. Takkan kubiarkan benang merah diantara kita putus.”kataku.
“ Sita, kamu nangis?” tanya Vano
“ Aku cuma bahagia saja. Oh iya aku bawa kamera, kita foto yuk?”
“ Hm…kamu ini ada-ada saja. Tapi aku mau bilang satu hal. Kamu harus nurut ya?”
“ Ada apa?”
“ Belakangan ini kulihat kamu semakin cengeng saja dan juga kurus. Aku gak mau bila saatnya tiba kamu tetap seperti ini. Aku suka Sita yang tegar dan kuat yang makannya selalu banyak.”
“Sudahlah, aku ambil kamera dulu ya?”
Vano, asal kamu tahu. Tiap kali aku mengingat kamu akan pergi rasanya aku seperti tersiksa. Malam pun semakin larut dan ini adalah malam terindah bagiku. Esoknya, Vano mengajakku ke sungai untuk jalan-jalan. Sesampainya disana kami duduk bersandar disebuah pohon di pinggir sungai sambil menikmati suara air yang indah dan kicau burung.
“ Pagi yang indah ya?” kata Vano
“ Iya. Rasanya tenang banget…”
“ Sita, kadang kalau kuingat-ingat pertemuan kita lucu ya?”
“ Iya, dulu itu aku benci banget sama kamu tapi malah sekarang aku cinta banget sama kamu.”
“ Aku gak tahu kenapa tiba-tiba aku juga bisa suka padamu. Kau itu lucu, galak dan sombong. Mungkin itulah alasanku mencintaimu.”
“ Vano…..”
“ Tapi itu benar, aku tergila-gila padamu. Aku bersyukur sebelum ajalku tiba aku telah mengenalmu.”
“ Vano, jangan bicara seperti itu….”
“ Kamu jangan takut ya? Kelak kita pasti akan bertemu disana. Dan aku mau kamu tetap menjadi seperti dulu Sita yang membuatku tergila-gila. Dimanapun aku berada, aku akan selalu melindungimu dan menjagamu.”
“ Vano, jangan bicarakan itu lagi. Aku sangat takut. Tapi aku harus ikhlas ya? Agar kamu tidak tersiksa lagi?”
“ Iya, aku ingin kamu ikhlas dan tabah. Tuh, kamu sudah nangis. Asal kamu tahu kamu cinta pertama dan terakhirku.”
“ Iya…. Kamu juga cinta pertama dan terakhirku. Vano, aku gak mau kamu minum obat penahan sakit itu terus. Aku gak mau kamu kesakitan tiap hari. Tapi aku juga tak mau kehilanganmu. Vano, aku janji aku akan rela melepasmu. Jadi kamu tenang aja ya?”
“ Terima kasih Sita.”
“ Vano, tapi kapan kita pulang kembali. Orangtua kita pasti khawatir terutama ibumu. Meski disini menyenangkan tapi rumah adalah tempat yang paling berharga. Ya kan?”
Kulihat Vano, tapi ia diam saja. Apa dia tertidur kucoba membangunkannya tapi dia tidak kunjung bangun juga. Aku gak boleh berpikir macam-macam. Jantungku berdebar gak karuan saat memeriksa denyut nadi Vano. Ini gak mungkin Vano……Vano telah tiada…..
Dua bulan setelah kepergian Vano,  aku masih tetap belum bisa tanpanya. Semua foto Vano dan aku kutempelkan diseluruh dinding kamar. Aku merindukannya, sangat amat merindukannya. Aku duduk di kamar dan menatap kosong foto-foto Vano. Terdengar suara Rani masuk kekamarku.
“ Sit, kita jalan-jalan yuk? Kamu kenapa sih?” tanya Rani
“ Aku ingin sendiri.”
“ Sita, ini sudah dua bulan dan kamu tetap saja seperti ini. Sit, Vano bakalan sedih melihat kamu seperti ini. Mana Sita yang dulu?”
“ Aku merindukannya Ran. Aku sangat ingin bertemu dengannya.”
“ Sit, hentikan semua ini. Bukan hanya kamu yang kehilangan Vano tapi kita semua. Tapi kita sudah bisa menerima semua itu sebagai takdir. Kamu juga.” pinta Rani
“ Ran, aku mau kerumah Vano.”
Rani mengantarku kerumah Vano. Rani ikut masuk kedalam
“ Rani, Sita ada apa?” tanya ibu Vano.
“ Tante, boleh aku masuk?” tanyaku
“ Iya, tentu saja.” Kemudian kami pun masuk.
“ Sita, kamu kan sudah berjanji akan melepaskan Vano. Jadi kamu harus merelakannya disana ya?” kata ibu Vano.
“ Apa Tante gak sedih?” tanyaku
“ Dulu iya tapi ini kan sudah garisnya. Jadi kita sebagai manusia harus bisa tabah dan sabar.”
“ Sit, kita pulang ya?” kata Rani
“ Enggak Ran, kamu pulang duluan saja. Tante, bolehkah aku tinggal beberapa hari dikamar Vano?” tanyaku
“ Tentu. Nanti biar Tante yang bilang ke ibumu ya? Ran, kamu pulang saja biar Sita disini. Mungkin dengan tidur dikamar Vano dia akan mulai sadar kalau Vano telah tiada.”
“ Baiklah, aku pulang dulu Tante…”
Aku tinggal di rumah Vano dan tidur dikamarnya. Kukelilingi semua sudut kamarnya. Kamarnya begitu bersih dan rapi. Masih ada beberapa pakaiannya di lemari. Kusentuh dan kucium pakaian itu, bau Vano masih tercium. Aku merasa seperti sedang berada disamping Vano. Pakaian ini, pakaian berwarna coklat tua dan jaket ini adalah pakaian yang dipakai Vano saat menyelamatkanku di pantai.Vano, aku ingin semuanya terulang lagi. Akupun menutup lemari itu dan duduk di kasur Vano. Ada foto kami berdua dimeja belajarnya. Aku mulai pindah ke meja belajar itu. Ada banyak sekali album foto. Dari foto bayi Vano sampai foto saat dia sekolah. Ada juga foto kami. Saat kubuka laci Vano ada sebuah buku diary milik Vano dan ada banyak sekali surat yang lusuh seperti bekas dibuang. Kubuka diary itu dan isinya semuanya tentang aku dan Vano. Awal pertemuan kami sampai pada saat Vano mengetahui umurnya tidak akan lama. Saat membaca diary itu aku merasa seperti mengulang semua pertemuan dan kebersamaan kami.
Setelah kubaca diary itu kubaca pula kertas lusuh itu. Dan ternyata semuanya berisikan ucapan maaf dan terimakasih padaku yang tak sempat ia kirimkan untukku. Ucapan maaf karena Vano akan meninggalkanku dan ucapan terimakasih karena aku telah hadir di hidupnya. Aku sendiri tak tahu sejak kapan airmataku ini menetes. Ku beranjak dari kursi dan melihat keluar jendela kamar Vano. Hujan begitu deras, aku teringat saat ku menunggu Vano diluar rumahnya. Pasti dia melihatku dari sini ya?
Hari-haripun berlalu. Aku mulai membiasakan diriku tanpa Vano meski tiap malam aku masih menangis merindukannya. Aku kembali bekerja dan melakukan aktivitas seperti biasa. Meski mungkin tak ada lagi senyum kebahagiaan seperti saat masih ada Vano disisiku.
“ Sit, aku senang kamu kembali bekerja dan beraktivitas seperti biasa. Tapi kenapa samapai sekarang kamu masih seperti orang lain. Kupikir mungkin itu adalah proses adaptasimu tapi ini sudah hampir satu tahun.” kata Rani.
“ Iya, sudah hampir satu tahun ya?” tanyaku balik
“ Aku merindukan Sita yang dulu yang selalu ceria dan tersenyum. Tapi sekarang sedikitpun tak kulihat senyum mengembang di pipimu. Bila tersenyumpun kau terkesan memaksa dan kamu tampak kurus dan tidak menjaga kesehatanmu.”
“ Maafkan aku ya Ran? Aku sendiri juga tidak tahu, seakan kebahagiaanku ikut pergi bersama Vano.” Rani pun memelukku
“ Aku tahu Sit, cinta kalian memang begitu besar. Aku cuma ingin kamu belajar menjadi Sita yang dulu meski tak bisa sepenuhnya.”
Aku hanya terdiam. Bagaimana mungkin aku bisa melupakan Vano dan kembali tersenyum seolah tidak ada apa-apa?. Hari ini aku libur kerja. Bukankah hari ini adalah genap satu tahun Vano memakaikan cincin ini padaku? Kutatap cincin itu, ada nama Vano didalamnya. Hari itu begitu indah seakan aku ingin kembali pada malam itu.
“ Ibu, aku mau ke Surabaya ya?” ijinku pada ibu
“ Ngapain?” tanya ibu.
“ Aku kangen sama Vano bu dan mau ke tempat kenangan kami.”
“ Sita, sudah hampir setahun dan kamu masih tetap memikirkan Vano dan Vano.”
“ Maafkan aku bu, aku janji ini yang terakhir.”
“ Tapi kamu harus cepat pulang ya? Jangan buat ibu khawatir.”
“ Iya bu, terimakasih. Bu, aku menyayangimu maafkan ku ya?” kataku
Akupun pergi ke Surabaya ketempat kenangan terakhirku dengan Vano. Sebelum kesana, aku mengunjugi makam Vano.
“ Vano, kamu ingat gak ini hari apa? Hari ini tepat setahun kita bertukar cincin. Vano, aku mau kesana. Kamu datang ya aku kangen sama kamu. Aku akan selalu menunggumu sayangku…”
Aku pun pergi ke tempat itu dan aku samapai disana. Suasananya masih sama seperti satu tahun lalu. Aku pergi ke rumah kami dulu tapi ternyata sudah ditempati orang. Akupun memohon agar dapat tinggal disana 2 hari saja. Untungnya mereka mengijinkan. Tempat itu sekarang dihuni oleh sepasang kakek nenek. Mereka begitu saling mencintai dan membuatku semakin ingat pada Vano.
“ Namamu siapa nak?” tanya nenek itu
“ Namaku Sita nek.”
“ Dulu kamu tinggal disini ya? Soalnya kata pemilik rumah ini, rumah ini sebelum nenek tempati pernah ditempati oleh sepasang anak muda. Lalu kenapa kamu sendirian?”
“ Iya nek, dulu kami tinggal disini hanya beberapa minggu. Aku dan tunanganku Vano. Aku rindu nek pada tempat ini dan juga padanya.”
“ Dia sudah meninggal ya? Nenek dengar dari pemilik rumah ini katanya kalian begitu serasi dan bahagia lalu sampai lelaki itu tiada. Kamu baik-baik saja kan nak?”
“ Iya nek. Ternyata kisah kami banyak yang tahu ya? Kami saling mencintai dan aku tidak akan membiarkannya pergi dariku nek. Tapi nenek tidak usah khawatir.”
“ Cinta kalianlah yang membuat aku dan suamiku menempati tempat ini. Karena kami akan merawat tempat ini dan mengisi rumah ini dengan cinta walau tak sebesar cinta kalian.”
“ Iya nek, terimakasih. Nek, aku istirahat dulu ya?”
Malam ini, bukankah malam terakhir aku bersama Vano dan juga malam terindahku bersamanya. Aku pergi ke belakang rumah dan berdiri disana. Menikmati semua saat-saat bersama kami itu. Aku seakan melihat semua itu terulang dimataku tapi itu hanya ilusi. Esoknya, aku pergi ke sungai tempat kami dulu sering bermain disana.
“ Nak, kamu mau kemana?” tanya kakek
“ Aku mau kesungai dulu kek.”
“ Hati-hati ya?”
Sesampainya disana, semuanya tetap sama seperti saat aku bersama Vano. Akhir-akhir ini kepalaku pusing sekali. Tapi tiap mengingat Vano rasanya sakitku hilang. Aku memasukkan kakiku kedalam air sungai rasanya begitu segar dan nyaman. Lalu akupun duduk dibawah pohon tempat kami bersandar dulu.
“ Vano, semuanya masih sama. Suasananya, bunyi air ini, kicau burung dan udara yang tersa segar ini. Semuanya masih sama seperti kita dulu kesini. Akupun masih sama, masih menunggumu sampai kapanpun. Tapi ada yang kurang yaitu kamu. Dulu kamu bersandar dipohon ini bersamaku, tapi kini aku hanya sendiri disini. Aku sudah lelah dan tak sanggup lagi…..” kataku.
Aku merasakan sakit pada kepalaku dan akupun memejamkan mataku. Rasanya seakan sakitku hilang dan tubuhku begitu ringan. Aku merindukannya, aku sangat merindukan Vano. Lalu sayup-sayup kudengar suara seorang memanggilku seperti suara Vano. Kubuka mataku perlahan-lahan kulihat Vano mengulurkan tangannya padaku dan tersenyum. Dijarinya juga masih tersemat cincin kami.
“ Vano, apa itu kau?” tanyaku
“ Iya, ini aku. Bukankah kau ingin bertemu denganku?” kata Vano
“ Iya, itu benar.” Akupun mengulurkan tanganku ke Vano dan berdiri
“ Mulai hari ini kita akan bersama selamanya.”
“ Benarkah itu? Tapi bukankah kau…..” Telunjuk Vano ditempelkan ke bibirku sekan melarangku untuk melanjutkan kata-kata itu.
“ Hust….kita akan selalu bersama. Takkan ada lagi yang dapat memisahkan kita. Selamanya.” kata Vano lalu akupun tersenyum
“ Berjanjilah kau tidak akan mengucapkan selamat tinggal kan?” tanyaku
“ Iya.”
Vano menggenggam tanganku, kami pun bergandengan tangan dan pergi. Dua cincin yang berarti benang merah bagi kami kini telah bersatu. Kutinggalkan semua sakit dan deritaku. Kisah cinta kami mulai tersebar dan aku tak peduli karena mulai saat ini aku akan selalu bersama Vano dalam keabadian. Dan selamanya Don’t say good bye Vano……….










Tidak ada komentar:

Posting Komentar

New Beginning

Haaiiii.... Lama banget aku gak muncul dirumahku ini. 2014... terakhir kali aku singgah disini. Ini bukan karena aku punya rumah ...

Paling Disukai